Jumat, 19 Oktober 2012

Guru Pertamaku

Dulu, saat membaca buku "Laskar Pelangi",  saya langsung teringat dengan kisah saya sendiri waktu masih jaman SD. Jika Ikal dan kawan-kawannya punya Ibu Muslimah, maka kamipun juga punya Ibu Betty.
Ceritanya, angkatan kami adalah angkatan yang kedua di Sekolah Dasar tersebut. Sekolah ini merupakan cabang sebuah sekolah swasta lainnya dari kota. Kemungkinan saat itu melihat peluang bahwa di lingkungan kami anak-anak semakin banyak sementara hanya ada dua Sekolah Dasar dan letaknya agak jauh dari lingkungan kami. Pertama kali sekolah di buka, hanya ada beberapa anak. Kakak saya termasuk salah satunya, dan dengan pede-nya saya juga ikutan sekolah meski umur saya waktu itu baru 4 tahun. Kok nggak TK? Pertanyaan itu nggak usah ditanyakan deh, kebanyakan dari kami tak pernah menginjakkan kaki di bangku TK. Adalah merupakan sebuah kemewahan bila ada yang duduk di bangku TK, seperti seorang teman saya yang malah TK-nya di Ujung Pandang (sebutan kota Makassar dulu).
Ketika menjelang kenaikan kelas, karena di anggap masih terlalu kecil maka Ibu Betty mengatakan pada ibu saya agar saya tidak usah naik kelas dulu, biarlah saya ikut angkatan yang berikutnya. Dan jadilah saya memulai kelas 1 SD di usia 5 tahun. Sebenarnya tetap lebih muda dari yang lainnya karena kebanyakan teman sekelas saya berusia 6 atau 7 tahun.
Sebagai sebuah sekolah baru tentu saja sangat jauh dari yang namanya fasilitas. Ruang kelas kami hanyalah sebuah ruang bagian belakang Gereja yang difungsikan sebagai kelas. Seingat saya waktu itu itu meski sudah ada 2 kelas namun guru kami cuma ya satu itu. Masa-masa itu sangat terekam di ingatan saya, dengan setia beliau mengajar kami mengenal apa itu a, i, u, e, dan o.. belajar mengenal angka, menghitung dengan bantuan jari ataupun dengan lidi. Teman-teman seperjalanan saya, Sarah, Irene, Rice, Rosa, Elinton, Nober, Eka, Dewi, Rony, Edy, Alex, Astin, Jim, Imbran, Yenny (mudah-mudahan semua sudah di sebut), bersama-sama kami belajar dan bermain dengan Ibu Betty. Tentulah sukar sekali bagi beliau mengajar bocah-bocah ingusan yang tak tahu apa-apa, tak pernah mengenal yang namanya Play Group/ Taman Kanak-kanak, tak tahu metode matematika menggunakan sempoa, tak pernah menggunakan pensil dan spidol ataupun kapur tulis untuk mengukir tulisan-tulisan maupun angka-angka menjadi sesuatu yang bermakna. Meski masih buta sama sekali tentang belajar di sekolah, namun tak megurangi kerajinan kami untuk berangkat ke sekolah.
Kadang kala saking rajinnya kami ke sekolah maka bila di sekolah belum ada ibu Betty, kami berlarian ke rumahnya menjemput beliau. Saat itu kami tentu saja belum memahami konsep tentang waktu maupun jam. Saya ingat sekali kami berebutan memegang tangannya berjalan dari rumah menuju ke sekolah sambil bergelayutan dengan manja.  Kami tidak pernah berfikir,kalau ibu Betty sendiri masih harus mengurus keluarganya jadi tentu saja dia harus menjalankan perannya sebagai ibu rumahtangga dulu di rumah sebelum berangkat ke sekolah. Namun dengan penuh rengekan kami malah menyeret dia ke sekolah meski belum waktunya.. hehehe..
Tentu susah bagi Ibu Betty harus mengajar kami seorang diri saja. saya tak ingat apa dia pernah sakit sehingga tidak masuk mengajar. yang kami tahu hanyalah senin hingga sabtu kami akan berada di sekolah untuk belajar.
Pengalaman pribadi saya dengan beliau adalah ketika saya yang dulunya menulis dengan tangan kiri, namun Ibu Betty dengan penuh perjuangan mengajar saya untuk menggunakan tangan kanan dengan cara menyuruh saya menaruh tangan kiri di belakang setiap kali akan menulis. dan memang caranya itu berhasil, saya pun bisa menulis dengan tangan kanan, mungkin ibu guru berfikiran jangan sampai kelak ketika saya besar saya menjadi malu karena kidal, meski sekarang saya belajar bahwa menjadi kidal bukanlah sesuatu yang salah. It's just okay when you used your left hand, coz it's just same as the right one.
Saya mencoba mengingat lagi berbagai kenangan dengan ibu Betty, Membuka memori-memori lama dan menemukan beberapa yang masih lekat di ingatan.
Pernah ketika musim laron tiba, kami berlarian di lapangan mengejar laron2 itu. Hahaha.. tentulah si Ibu Betty tinggal mengelus dada karena tak seorangpun dari kami yang mau masuk ke kelas sebelum kami puas mengejar laron2.
Satu hal yang juga ditekankan oleh Ibu Betty adalah kebersihan. Setiap pagi ketika berbaris masuk kelas, kuku kami di periksa dengan teliti, tidak boleh ada sedikitpun kuku yang panjang atau jika masih pendek tidak boleh ada sesuatu yang berwarna hitam-hitam melekat di dalam kuku. Soal pakaian tak menjadi masalah. Pada awal-awal sekolah kami tak diharuskan mengenakan seragam putih merah khas anak SD, mungkin karena beliau mengerti kondisi kami. Sepatu pun tak harus seragam, kadang ada pula yang hanya mengenakan sendal saja.
Tahun-tahun berlalu, dan ketika akan menginjak kelas 6, kami dipindahkan ke sekolah utama di kota. Tentu hal ini sempat membuat kami merasa takut. Namun Ibu Guru menyemangati kami agar tak usah malu dan tak perlu minder untuk bersekolah bersama dengan anak-anak yang di kota. Katanya kami tak perlu takut bersaing, karena ilmu yang kami miliki sama saja dengan mereka. Jadilah kami bergabung dengan murid-murid lain di sekolah kota, meski waktu itu sempat sedih juga karena kami kehilangan seorang teman yang begitu pintar karena sakit jantung. Dia tak pernah bersama-sama dengan kami menginjakkan kaki di kelas 6. Ada pula yang tidak naik kelas ke kelas 6 karena mungkin tidak sesuai dengan standar yang Ibu Guru inginkan. 
Demikianlah, kami masing-masing melanjutkan pendidikan, bahkan tak di nyana semuanya menginjak bangku Perguruan Tinggi. Dan kini setelah dewasa, lewat berbagai situs pertemanan di dunia maya, saya mendapat kabar tentang teman-teman seperjuangan di SD itu sekarang ada yang menjadi Pegawai Negeri, ada yang di PT Freeport, ada yang menjadi guru, beberapa menjadi pegawai swasta. Tentulah ini semua tidak lepas dari peranan guru pertama dalam dunia pendidikan kami. 


Terima kasih guruku...
Benarlah engkau layak di sebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.






3 komentar:

  1. sosok pahlawan yang masih diingat ya. selalu jadi kenangan ya sama bu Betty

    BalasHapus
  2. sosok guru memang banyak jasanya ya..

    BalasHapus