Rabu, 16 April 2014

Obatnya gratis lho...!


Ilustrasi - dok.pribadi


Beberapa waktu lalu saat sedang menjaga apotek, saya didatangi oleh seorang pasien dengan membawa sebuah bungkusan obat. 

“Mbak, beli obat kayak gini,” katanya sambil memperlihatkan kemasan obat tersebut.
Saya kemudian meminta  kemasan obat tersebut dan memperhatikan nama obat yang tertera. Meski sudah kurang jelas karena sobek di sana-sini, namun saya akhirnya mampu mengenali obat itu. 

“Ibu dapat obat ini dari mana?” tanya saya.

“Ini buat suami saya Mbak, bulan lalu sempat periksa ke Rumah Sakit, di kasih obat kayak gini. Kata dokternya harus minum terus, cuma kami gak sempat lagi mau check up, jadinya mau beli obat saja,” demikian terangnya.

“T’rus obatnya masih ada nggak Bu?”

“Ya, ini yang terakhir Mbak. Buat besok sudah nggak ada. Lagian suami saya malas ke Rumah Sakit lagi, mana antrinya lama, jauh pula, obatnya ya itu-itu juga. Mendingan beli sajalah.”

“Lho kok tau obat yang dikasih itu-itu saja Bu?”

“Ya iya Mbak, dua bulan berobat, dikasihnya obat yang sama persis seperti ini.”

“Hmmm… T’rus waktu periksa, suami Ibu dibilang sakit apa sama dokter?”

“Katanya sih sakit paru-paru Mbak. Suami saya dulu awalnya cuma batuk-batuk, sudah minum segala macam obat batuk gak kunjung sembuh, ya sudah periksa ke Rumah Sakit sampe rontgen, hasilnya ya begitu. Nah, di kasih obat beginian sudah agak mendingan. Badannya mulai sehat. Bahkan dia makannya jadi banyak. Batuknya juga sudah berkurang.”

“Oooh… bagus ya kalo gitu Bu! Tapi kalau saya kasih saran, boleh nggak? ”

“Saran bagaimana Mbak?”

“Gini lho Bu, obat-obat ini memang untuk paru-paru, atau kadang orang bilang sakit TB. Tapi ini bentuknya paketan. Nah, kalo yang seperti suami ibu ini minum adalah obat yang di sebut tahap intensif, alias harus di minum terus setiap hari. Obat ini punya pemerintah Bu, jadi nggak dijual bebas. Di sini obatnya nggak ada, dan seandainya ibu keliling semua apotek juga pasti gak bakalan dapat.”

“Iya juga sih, tadi saya sudah dari apotek sebelah, katanya nggak ada.”

“Nah, tuh kan. Jadi lebih baik begini saja Bu, besok pagi ajak suami ibu ke Puskesmas. Ibu tau puskesmas Aimas yang di SP 2 itu? Eh, Ibu tinggal di mana dulu?”

“Saya ya tinggalnya dekat-dekat sini saja, di sawah-sawah belakang itu lho Mbak.”

“Ooh pas kalo gitu. Ibu masuk ke wilayah Puskesmas Aimas memang. Besok ibu dengan suami ke sana saja. Trus bawa bungkusan obat ini. Jelaskan sama petugasnya, sudah berapa lama suami ibu minum obat. Jangan lupa kasih tahu, tadi pagi itu Bapak minum obat yang terakhir, biar besok mereka langsung kasih obat. Seterusnya pasti nanti Bapak di suruh berobat ke sana terus, gak usah ke Rumah Sakit. Kan lebih enak to Bu, Puskesmas kan lebih dekat.”

“Hmmm… begitu ya Mbak?”

“Iya, dan satu lagi Bu, obat ini gratis… Gak pake bayar. Gak usah keliling-keliling apotek buat nyari. Bikin cape aja, malah keluar duit buat keliling-keliling. Langsung saja ke Puskesmas, pasti dilayani Bu."

“Waah… enak ya kalo gitu. Ternyata gratis to…” Ibu itu mulai manggut-manggut.

“Eh iya, satu lagi Bu, yang paling penting, harus teratur minum obat ya. Bilang Bapak jangan pernah lupa minum obat. Ibu sebagai istrinya harus menjadi Pengawas Minum Obat alias PMO buat bapak. Obatnya di minum selama 6 bulan, gak boleh berhenti. Ibu mau kan Bapak sembuh total biar bisa sehat lagi?”

“Ya iyalah Mbak…”

“Iya Bu, harus kayak gitu. Soalnya seperti tadi Ibu bilang, kadang kalo sudah minum obat trus rasa sudah enakan kayak Ibu bilang tadi, orang kadang jadi malas mau melanjutkan. Alasannya sudah sembuhlah. Padahal belum lho Bu, harus minum sampai tuntas ya. Kalo minumnya setengah-setengah alias berhenti di tengah jalan, malah bisa lebih berbahaya lagi. Kumannya nggak mati semua, malahan mereka bisa berkembang lagi nantinya, bisa kambuh sakitnya. Kalo kambuh, sembuhinnya lebih susah lagi. Pake acara suntik, obatnya pun jadi lebih banyak. Minumnya lebih lama lagi. Repot kan Bu!”

“Waduh, jangan sampai deh Mbak. Iya..iya…. Besok, saya pasti ke Puskesmas. Tapi beneran kan ini gratis?”

“Iya Bu. Gratis… tis..tis… Gak pake bayar. Titik. Atau ibu mau bayar?”

“Ya enggaklah Mbak, siapa juga yang mau bayar kalo emang gratis.”

“Iya Bu. Soalnya ini memang obat program dari pemerintah. Seandainya bayar, ini harganya lumayan mahal lho Bu. Trus, satu lagi, jangan lupa lapor ke Rumah Sakit ya kalo suami ibu pindah berobat. Itu juga penting buat kepentingan administrasi di Rumah Sakit sana.”

“Oh.. iya.. iya.. Makasih lagi ya Mbak. Saya pamit dulu.”

“Oke Bu.. Semoga Bapaknya cepat sehat ya.”

Demikianlah perbincangan saya dengan ibu tersebut. Selain dengan ibu itu, masih ada lagi beberapa pasien yang saya hadapi dengan kasus serupa. Malah kadang ada yang tidak membawa obat dalam bentuk paketan itu, tapi dengan bentuk lepas yakni beberapa jenis antibiotik untuk TB. Kadang mereka langsung datang dengan menyebut beli obat yang “kincing merah” (mereka bilang kincing merah karena salah satu efek samping obat TB dalam hal ini Rifampicin adalah menyebabkan air seni berwarna kemerahan), ataupun dengan menunjukkan bungkus obat seperti si Ibu di atas. Namun saran saya selalu sama. Pergilah ke Puskesmas. Pemerintah sudah capek-capek menyediakan sarana dan prasarana kesehatan buat kita, kenapa kita tidak manfaatkan? 

Obat untuk TB pada awalnya memang diberikan dalam bentuk obat-obatan lepas yang terdiri dari beberapa kombinasi antibiotik antara lain Rifampicin, Izoniazid, Pirazinamid, Ethambutol dan Streptomicin. Pada pasien yang baru diperiksa dan ternyata hasilnya BTA positif (BTA +), atau BTAnya negative (BTA -) namun hasil rontgen positif ataupun pada pasien ekstra paru maka diobati dengan Izoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, dan Ethambutol. Keempat jenis obat ini diminum selama 2 bulan. Selanjutnya selama empat bulan berikutnya akan mengonsumsi Izoniasid dan Rifampicin saja.
Hmmm… kalo dipikir-pikir agak ribet juga ya minum obat sebanyak itu. Belum lagi jika pasien adalah tipe yang sukar minum obat apalagi dengan jumlah sebanyak itu. 

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, maka dibuatlah obat dalam bentuk paket OAT (Obat Anti Tuberkulosis). OAT ini dibuat dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination) yang merupakan kombinasi beberapa jenis obat yang dikemas dalam 1 tablet. OAT ini terdiri dari beberapa jenis paket yang disebut OAT kategori 1, OAT kategori 2, Sisipan dan Kategori Anak.

Untuk penggunaannya sendiri adalah sebagai berikut :
1.      OAT Kategori 1, digunakan pada pasien seperti yang disebutkan di atas. Yakni hasil pemeriksaan BTA +, atau BTA – rontgen +, dan juga pasien TB ekstra paru.
Dosisnya terbagi dua yakni 2 bulan tahap intensif, dan 4 bulan selanjutnya adalah tahap lanjutan. Pada tahap intensif pasien diberikan 2 tablet setiap hari (namun tentunya ini juga tergantung berat badan pasien, 2 tablet ini jika BB 30 – 37 kg, jika BB di atas itu maka jumlah tabletpun disesuaikan). Kemudian pada tahap lanjutan, selama 4 bulan berikutnya pasien tidak lagi mengkonsumsi obat tiap hari. Cukup 3 kali seminggu, dan dosis jumlah tablet juga disesuaikan dengan berat badan, sebagai contoh BB 30 – 37 kg sebanyak 2 tablet.

OAT Kategori 1

OAT Kategori 1

2.      OAT Kategori 2
OAT jenis ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya. Dalam hal ini bisa saja pasien kambuh, gagal, ataupun pasien yang putus berobat.

Dosisnya juga terbagi dalam tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif selama 3 bulan setiap hari mengkonsumsi obat dengan tambahan suntikan Streptomicin setiap harinya selama 2 bulan.
Sedangkan tahap lanjutannya berlangsung 5 bulan dengan mengkonsumsi obat 3 kali seminggu. Dosis jumlah obat tetap disesuaikan dengan Berat Badan pasien.

OAT Kategori 2
OAT Kategori 2 tahap intensif
OAT Kategori 2 tahap lanjutan

3.      Sisipan
OAT sisipan diberikan kepada pasien baru TB BTA + yang pada akhir pengobatan tahap awal masih tetap BTAnya + saat diperiksa.
Panduan pemakaiannya adalah sama seperti panduan paket kategori 1 untuk tahap awal. OAT sisipan diberikan selama 1 bulan (28 hari).

4.      OAT Kategori Anak
Sama seperti di OAT Kategori 1, tahap intensif selama 2 bulan dan tahap lanjutannya selama 4 bulan. Hanya bedanya adalah OAT anak diberikan setiap hari baik tahap intensif, maupun tahap lanjutan. Dosisnya tetap disesuaikan dengan berat badan anak.

OAT Kategori Anak

Demikianlah jenis-jenis obat TB. Jangan lupa, pengobatan TB ini harus berlangsung secara lengkap dan teratur. Bila pasien berhenti minum obat sebelum selesai waktu pengobatannya, maka jelas akan sangat beresiko. Antara lain seperti ketika saya menakut-nakuti si Ibu di atas. Penyakit tidak akan sembuh, dan malah berpotensi untuk tetap menularkan ke orang lain. Bahkan penyakit bisa semakin parah dan jelas bisa mengakibatkan kematian. Selain itu, kuman TB yang sudah ada dalam tubuh akan terus berkembang sehingga bisa saja dia akan menjadi kebal terhadap obat TB yang telah diminum sebelumnya dan malahan harus menggunakan obat yang lebih mahal dengan waktu pengobatan yang lebih lama.

Obat TB memang mahal, namun kita harus bersyukur, karena pemerintah masih menggratiskan obat ini kepada masyarakat. Namun obat gratis ini tentu bisa kita peroleh jika kita berobat ke fasilitas pemerintah. Tentunya yang paling dekat adalah ke unit layanan Puskesmas maupun ke Rumah Sakit pemerintah. Mari kita manfaatkan fasilitas yang ada. Daripada bayar mahal-mahal, mendingan pilih yang gratisan kan?
Gratis juga bukan sembarang gratis. OAT dijamin kualitasnya. Obat gratis, TB sembuh, tapi ingat , tentunya asalkan patuh dan rajin berobat hingga selesai sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Kesehatan selalu jadi prioritas kita kan?
Yuk, kita berantas Tuberkulosis bersama-sama.


">

5 komentar:

  1. beruntungnya si ibu bertemu dengan ahlinya ya jadi bisa lagusng diarahkan

    BalasHapus
  2. Waaah... saya nggak ahli2 amat mba Lid.. *Jadi malu hehehe...
    Untuk TB ini ilmunya lumayan banyak jadi..

    BalasHapus
  3. komplit, Mak. Smeoga menang :)

    BalasHapus
  4. iya betul mak di sini juga ada aja yg males minum obat..
    mesti sering didatangi ya
    good luck kontesnya mak

    BalasHapus
  5. Wah komplit banget. baru tahu kalau obat tb itu ada paket2an dan kalau di puskesmas gratis

    BalasHapus