Selasa, 02 Oktober 2012

Tamu dari jauh



Minggu kemarin kami disibukkan dengan kedatangan tamu dari Nusa Laut, Ambon. Kunjungan mereka ke Gereja kami dalam rangka wisata rohani Persekutuan Laki-laki (Pelpri)  Jemaat Beth Eden Ameth. Dengan rombongan sejumlah  97 orang, kami agak kewalahan juga kedatangan tamu sekian banyak. Untunglah beberapa hari sebelumnya kami sudah melakukan persiapan di antaranya pembagian rumah2 yang akan diinapi oleh para tamu, pembagian tugas memasak dan sebagainya. Jemaat kecil kami  hanya sekitar  160an KK dan itupun  tidak semuanya aktif. Namun itu tidak mengurangi kegembiraan kami dalam menyambut para tamu ini. Karena kunjungan ini juga merupakan kunjungan balasan setelah tahun lalu dari jemaat kami Persekutuan Kaum Bapak (PKB) telah melakukan wisata rohani ke sana.
Hari yang di nanati pun tiba, para Bapak2 sudah menyusul lebih dulu ke pelabuhan untuk menanti kedatangan mereka yang menggunakan kapal putih (di sini kapal penumpang di sebut kapal putih).  Kami (meski cuma sebagian kecil) menanti di alun-alun.. Rombongan tari-tarian asli Papua yang nanti akan dibawakan oleh para pemuda pemudi mulai berlatih , pun kelompok suling tambur tak mau ketinggalan. Duduk-duduk sambil terkantuk-kantuk, tiba-tiba ada yang berteriak : “ eh, cepat,, katanya mereka sudah di pompa bensin”…  wow, itu berarti jarak mereka tak sampai setengah kilo lagi dan  mereka bakalan sampai..     Semua berebut lari ke muka pintu gerbang alun2.. tapi apa nyana, ternyata pompa bensin yng dimaksud adalah pompa bensin kilo 9.. hahaha.. artinya masih 10 kilo lagi… hihihi.. dari pada berpanas-panas ria di luar saya mengajak Wilda bermain saja dulu dalaam pendopo melihat seorang anak lelaki kecil yang asik bermain mobil2an. Dengan kagum Wilda melihat mobil2 yang digerakkan dengan remote control itu seakan-akan itu adalah mainan terhebat di dunia.. (duh, nak… sebenarnya maianan itu sudah lazim, maafkan mak-mu ini tak membelikan, itu karena dikau anak cewek..)

Hingga akhirnya dari kejauhan terdengarlah  bunyi sirine mobil polisi yg mengawal rombongan itu. Di gerbang alun-alun , 3 orang dari rombongan mereka berjalan duluan di depan, yakni Bapa Raja, Bapak Pendeta, dan ketua Pelpri.. disambut dengan tradisi Papua, 3 orang Gadis Papua membawa piring besar sejenis mangkok dan ketiga orang itu harus menginjak piring tersebut  sebagai simbol adat mereka melangkahkan kaki masuk ke tanah Papua. Gema suling tambur terus membahana, diiringi tari-tarian adat dan kami yang di baris belakang bergoyang-goyang ala Papua. 

Perjalanan dengan berjalan kaki hingga ke gereja yang cukup lumayan jauh sambil terus diiringi dengan bunyi suling tambur, dan bergoyang sepanjang jalan.. ,, saya sempat membayangkan bagaimana seandainya saya yang berada dalam rombongan, mana kepala pusing tidak tidur dalam perjalanan kapal, perjalanan bis yang cukup jauh, eh berjalan kakipun di tengah panas terik siang hari yang membara, belum lagi harus melewati jalan yang berdebu… Tapi ternyata semua itu tidak menghapus keceriaan dari muka para rombongan tamu yang datang. Meski dikatakan yang datang berwisata rohani adalah Bapak-Bapak, namun ternyata yang datang juga adalah ibu-ibu, bahkan beberapa orang remaja dan anak-anak.
Tiba di pintu Gereja, ada bunyi gamelan Jawa menyambut. Dua orang Bapak dengan pakaian adat Jawa membawa air dalam tempayan dan membasuh kaki ketiga Bapak tadi sebelum melangkahkan kaki ke dalam Gereja sebagai simbol penyambutan dan pelayanan kepada para tamu. Dengan sambutan adat Jawa ini menunjukkan keragaman suku dalam Jemaat Gereja kami, apalagi daerah yang kami tempati ini adalah daerah transmigrasi yang kebanyakan penduduknya berasal dari Jawa.

Selanjutnya acara2 penyambutan, serta pembagian rumah, namun saya pulang duluan karena Wilda sudah ngamuk2 kecapean..  Sayapun pulang menidurkan dia, dan karena besoknya adalah jadwal kelompok kami untuk memasak, maka sayapun bergabung dengan komunitas ibu2 lainnya mempersiapkan makanan untuk kurang lebih 500 orang besok harinya.. hummm sungguh pekerjaan yang melelahkan bahkan beberapa dari para ibu tak tidur karena harus memasak sepanjang malam. Karena saya punya anak kecil, maka sayapun di beri kelonggaran untuk pulang lebih dulu.
Ibadah minggu pagi, keesokan harinya menjadi lebih meriah dan lebih syahdu dengan tambahan peserta ibadah dari rombongan wisata rohani ini. Apalagi mereka membawa rombongan pemain musik terompet yang tiupannya membuat merinding..  Jadi ibadah yang biasanya diiringi dengan permainan keyboard kali ini digantikan oleh tiupan belasan terompet, juga saxophone yang membuat kami semua terkagum-kagum, bahkan saking senangnya mendengar musik ini, Asisten 3 Bupati yang datang beribadah hari itu mengundang mereka untuk bermain musik di rumahnya.
Setelah ibadah Minggu dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Pastori jemaat kami. Berbagai kegiatan dalam rangka menjalin keakraban dilakukan selama beberapa hari berikutnya. Oh ya, kamipun kebagian tamu meski cuma satu orang, seorang Bapak yang dulu rumahnya juga ditinggali oleh suami saya ketika mereka berkunjung ke sana tahun lalu.
Ibadah bersama, penanaman pohon, bekerja bakti membuat pondasi, jalan pagi, bahkan pentas seni budaya, juga malam puji-pujian menjadi serangkaian kegiatan selanjutnya hingga tibalah waktu untuk perpisahan. Pada malam terkhir dengan  adat Papua yakni Barapen (bakar batu), suatu kegiatan memasak makanan bersama-sama dalam batu panas yang telah di bakar lebih dahulu.. Namun saya tak sempat mengikuti kegiatan ini karena acaranya terlalu larut malam.. Hingga keesokan paginya berduyun-duyun jemaat mengantarkan para tamu ke pelabuhan. Perpisahan dengan suasana gembira tanpa ada isak tangis sambil melambaikan tangan semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi….
Selamat jalan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar