Minggu kemarin kami disibukkan
dengan kedatangan tamu dari Nusa Laut, Ambon. Kunjungan mereka ke Gereja kami
dalam rangka wisata rohani Persekutuan Laki-laki (Pelpri) Jemaat Beth Eden Ameth. Dengan rombongan
sejumlah 97 orang, kami agak kewalahan
juga kedatangan tamu sekian banyak. Untunglah beberapa hari sebelumnya kami
sudah melakukan persiapan di antaranya pembagian rumah2 yang akan diinapi oleh
para tamu, pembagian tugas memasak dan sebagainya. Jemaat kecil kami hanya sekitar
160an KK dan itupun tidak
semuanya aktif. Namun itu tidak mengurangi kegembiraan kami dalam menyambut
para tamu ini. Karena kunjungan ini juga merupakan kunjungan balasan setelah
tahun lalu dari jemaat kami Persekutuan Kaum Bapak (PKB) telah melakukan wisata
rohani ke sana.
Hari yang di nanati pun tiba,
para Bapak2 sudah menyusul lebih dulu ke pelabuhan untuk menanti kedatangan
mereka yang menggunakan kapal putih (di sini kapal penumpang di sebut kapal
putih). Kami (meski cuma sebagian kecil)
menanti di alun-alun.. Rombongan tari-tarian asli Papua yang nanti akan dibawakan
oleh para pemuda pemudi mulai berlatih , pun kelompok suling tambur tak mau
ketinggalan. Duduk-duduk sambil terkantuk-kantuk, tiba-tiba ada yang berteriak :
“ eh, cepat,, katanya mereka sudah di pompa bensin”… wow, itu berarti jarak mereka tak sampai
setengah kilo lagi dan mereka bakalan sampai.. Semua berebut lari ke muka pintu gerbang
alun2.. tapi apa nyana, ternyata pompa bensin yng dimaksud adalah pompa bensin
kilo 9.. hahaha.. artinya masih 10 kilo lagi… hihihi.. dari pada berpanas-panas
ria di luar saya mengajak Wilda bermain saja dulu dalaam pendopo melihat
seorang anak lelaki kecil yang asik bermain mobil2an. Dengan kagum Wilda
melihat mobil2 yang digerakkan dengan remote control itu seakan-akan itu adalah
mainan terhebat di dunia.. (duh, nak… sebenarnya maianan itu sudah lazim,
maafkan mak-mu ini tak membelikan, itu karena dikau anak cewek..)
Hingga akhirnya dari kejauhan
terdengarlah bunyi sirine mobil polisi
yg mengawal rombongan itu. Di gerbang alun-alun , 3 orang dari rombongan mereka
berjalan duluan di depan, yakni Bapa Raja, Bapak Pendeta, dan ketua Pelpri..
disambut dengan tradisi Papua, 3 orang Gadis Papua membawa piring besar sejenis
mangkok dan ketiga orang itu harus menginjak piring tersebut sebagai simbol adat mereka melangkahkan kaki
masuk ke tanah Papua. Gema suling tambur terus membahana, diiringi tari-tarian
adat dan kami yang di baris belakang bergoyang-goyang ala Papua.
Perjalanan dengan berjalan kaki
hingga ke gereja yang cukup lumayan jauh sambil terus diiringi dengan bunyi
suling tambur, dan bergoyang sepanjang jalan.. ,, saya sempat membayangkan
bagaimana seandainya saya yang berada dalam rombongan, mana kepala pusing tidak
tidur dalam perjalanan kapal, perjalanan bis yang cukup jauh, eh berjalan
kakipun di tengah panas terik siang hari yang membara, belum lagi harus
melewati jalan yang berdebu… Tapi ternyata semua itu tidak menghapus keceriaan
dari muka para rombongan tamu yang datang. Meski dikatakan yang datang
berwisata rohani adalah Bapak-Bapak, namun ternyata yang datang juga adalah
ibu-ibu, bahkan beberapa orang remaja dan anak-anak.
Tiba di pintu Gereja, ada bunyi
gamelan Jawa menyambut. Dua orang Bapak dengan pakaian adat Jawa membawa air
dalam tempayan dan membasuh kaki ketiga Bapak tadi sebelum melangkahkan kaki ke
dalam Gereja sebagai simbol penyambutan dan pelayanan kepada para tamu. Dengan
sambutan adat Jawa ini menunjukkan keragaman suku dalam Jemaat Gereja kami,
apalagi daerah yang kami tempati ini adalah daerah transmigrasi yang kebanyakan
penduduknya berasal dari Jawa.
Selanjutnya acara2 penyambutan,
serta pembagian rumah, namun saya pulang duluan karena Wilda sudah ngamuk2
kecapean.. Sayapun pulang menidurkan
dia, dan karena besoknya adalah jadwal kelompok kami untuk memasak, maka
sayapun bergabung dengan komunitas ibu2 lainnya mempersiapkan makanan untuk kurang
lebih 500 orang besok harinya.. hummm sungguh pekerjaan yang melelahkan bahkan
beberapa dari para ibu tak tidur karena harus memasak sepanjang malam. Karena
saya punya anak kecil, maka sayapun di beri kelonggaran untuk pulang lebih
dulu.
Ibadah minggu pagi, keesokan
harinya menjadi lebih meriah dan lebih syahdu dengan tambahan peserta ibadah dari
rombongan wisata rohani ini. Apalagi mereka membawa rombongan pemain musik terompet
yang tiupannya membuat merinding.. Jadi
ibadah yang biasanya diiringi dengan permainan keyboard kali ini digantikan
oleh tiupan belasan terompet, juga saxophone yang membuat kami semua
terkagum-kagum, bahkan saking senangnya mendengar musik ini, Asisten 3 Bupati
yang datang beribadah hari itu mengundang mereka untuk bermain musik di
rumahnya.
Setelah ibadah Minggu dilanjutkan
dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Pastori jemaat kami. Berbagai
kegiatan dalam rangka menjalin keakraban dilakukan selama beberapa hari
berikutnya. Oh ya, kamipun kebagian tamu meski cuma satu orang, seorang Bapak
yang dulu rumahnya juga ditinggali oleh suami saya ketika mereka berkunjung ke
sana tahun lalu.
Ibadah bersama, penanaman pohon,
bekerja bakti membuat pondasi, jalan pagi, bahkan pentas seni budaya, juga
malam puji-pujian menjadi serangkaian kegiatan selanjutnya hingga tibalah waktu
untuk perpisahan. Pada malam terkhir dengan
adat Papua yakni Barapen (bakar batu), suatu kegiatan memasak makanan
bersama-sama dalam batu panas yang telah di bakar lebih dahulu.. Namun saya tak
sempat mengikuti kegiatan ini karena acaranya terlalu larut malam.. Hingga
keesokan paginya berduyun-duyun jemaat mengantarkan para tamu ke pelabuhan.
Perpisahan dengan suasana gembira tanpa ada isak tangis sambil melambaikan
tangan semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi….
Selamat jalan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar