Minggu, 28 April 2013

My sister, My inspiration

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri Minggu ke tiga.

Saya baru ingat, saya belum pernah menuliskan cerita tentang kakak perempuan saya di blog.
Saya adalah bungsu dari 7 bersaudara (banyak ya....). Kakak pertama seorang perempuan, anaknya juga 7 hehehe... tapi dari istri ayah yang pertama. Ayah memang menikah dua kali karena istri pertamanya meninggal. Kemudian ayah menikah dengan ibu yang memberinya 3 anak laki-laki dan juga 3 wanita.
Yang ke dua cowok, sekarang berada di Teluk Wondama, Papua (Wasior, yang dulu kena bencana banjir bandang itu), dia seorang guru yang mengabdi di pedalaman sana. Kemudian yang ke tiga adalah seorang perempuan, sudah menikah juga tapi sayang sampai sekarang belum dikaruniai anak. Dia bermukim di Balikpapan. Kalau yang ke empat, cowok, baru saja menikah Desember kemarin, juga di Kalimantan tapi di Banjarmasin. Yang ke lima juga cowok, masih bujangan dan juga tinggal di Balikpapan. Yang ke enam, perempuan di atas saya, sudah menikah juga, dan dulunya mengabdi juga sebagai guru di pedalaman Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Sayang sekali, beliau sekarang sudah tidak ada. Dia meninggal hampir 5 tahun yang lalu.
Di antara saudara-saudara yang banyak itu, kakak perempuan inilah yang paling dekat dengan saya. Mungkin karena umur kami yang hampir sama, hanya beda 2 tahun. Dari kecil kami selalu bersama-sama. Ibu selalu membelikan kami pakaian yang sama. Tapi biasanya saya berwarna merah dan dia berwarna biru. Selain pakaian, benda-benda milik kami selalu sama. Anting-anting, tas sekolah, sepatu dan lainnya selalu sama. Bahkan kadang di kira kembar padahal wajah kami berbeda sama sekali.
Oh ya, kakak saya namanya Kori. Menurut ayah dulu, di beri nama itu karena saat Kori lahir sedang diadakan Kongres Guru Republik Indonesia di kabupaten kami. Jadi sebenarnya mau di beri nama Kogri, tapi karena kedengarannya janggal maka di sebut saja Kori. 
Waktu Kori mulai sekolah, saya selalu mengekor mengikuti dia ke sekolah. Saya ikut masuk dalam ruang kelas, duduk layaknya anak sekolah. Padahal waktu itu saya baru 4 tahun. Saat kenaikan kelas, ibu guru tidak mau mengikutkan saya ke kelas 2 karena katanya masih terlalu kecil. Akhirnya saya berpisah dengan kakak saya dan mengulang lagi kelas 1. Saat SMP, saya tetap mengikutinya ke sekolah yang sama. Hanya saat SMA saya bersekolah di sekolah swasta karena ingin mencari suasana lain. Kakak saya tetap melanjutkan ke sekolah negeri yang berada persis di belakang SMP kami.
bersama seorang sahabatnya kala SMU. Kori duduk.

bersama ibu saat menikah (sudah mulai sakit)

kami bertiga saat pernikahan kakak lelaki yang pertama (Kori di sebelah kiri, paling gemuk di antara bertiga)
Beranjak ke masa kuliah, karena sesuai dengan cita-cita ayah yang ingin anaknya menjadi guru, maka kakak saya dengan penurut kuliah di IKIP Makassar (yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Negeri Makassar). Beliau mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Setahun kemudian, saya menyusulnya ke Makassar, namun karena saya masuk ke Unhas, kami jadi berbeda kampus. Tapi saya tetap mengekornya dan tinggal di tempat kostnya yang dekat dengan kampus UNM. Padahal jaraknya ke kampus saya hampir sejam naik angkot. Tapi tak apalah, saya rela demi bisa tinggal bersama-sama kakak saya. 
Selayaknya kakak beradik, kadang kala kami juga selalu bertengkar. Sepertinya lebih banyak karena saya yang keras kepala. Kakak saya seorang yang lembut sebenarnya. Jika bertengkar dia lebih banyak mengalah. Namun dengan cepat kami juga langsung berbaikan. 
Dari dulu saya gemar membaca. Kakak saya ini juga suka, namun tidak serakus saya saat melahap buku. Kalau saya membaca segala genre buku. Dia lebih memilih buku-buku motivasi seperti Chicken Soup series dan sesekali membaca novel suspense. Dia lebih gemar menulis daripada membaca. Dia begitu rajin menulis setiap pengalamannya dalam sebuah diari. Dan saya dengan rajinnya membaca setiap catatannya itu. 
Kakak saya sering bepergian ke tempat-tempat terpencil dengan organisasi pelayanan dari kampusnya, dan dari situlah dia selalu menuliskan semua pengalamannya. Dia memang meiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Kalau saya, boro-boro mau ikut kegiatan kampus. Kegiatan kuliah dengan seabrek praktikum dan tugas membuat saya sibuk dari pagi  hingga pagi lagi.
Selepas kuliah, kakak saya masih menemani saya beberapa bulan di Makassar hingga akhirnya dia pulang di kampung. Di kampung dia mendengar tentang adanya penerimaan guru kontrak di Kaimana, Papua, dan tanpa pikir panjang dia langsung mendaftar. Ayah saya sebenarnya agak ragu waktu itu, apalagi di persyaratan disebutkan bahwa siap ditempatkan di daerah pedalaman. Namun akhirnya beliau merestui. Jadilah kakak saya berangkat ke Papua dengan beberapa temannya ke Kaimana. Di sana dia benar-benar ditempatkan di tempat yang terpencil. Menurutnya dari kota Kaimana, dia harus naik speedboat ke pulau tempatnya mengajar. Begitu banyak pengalamannya di tempat itu, semua dituangkannya dalam agenda pribadi miliknya. Dia selalu mengijinkan saya membacanya jika dia pulang. Saat saya lulus kuliah, saya masih harus melanjutkan kuliah profesi setahun lagi untuk mendapat gelar apoteker. Dan kuliah profesi saya ini hampir sebagian besar dibiayai oleh kakak saya ini. (Oh... thank you so much sist... )
Hampir 2 tahun menjadi guru kontrak, mereka kemudian di angkat menjadi PNS. Kakak saya ini kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih terpencil lagi. Sebenarnya dengan tingkat pendidikannya yang merupakan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris, seharusnya dia bisa saja meminta untuk ditempatkan di kota mengajar tingkat SMP atau bahkan SMU. Namun kakak saya lebih memilih untuk masuk ke padalaman mengajar anak-anak SD. Begitu besar dedikasinya untuk mengabdikan ilmunya bagi anak-anak di pedalaman sana.
Karena kakak saya ini pulalah maka saya kemudian berminat pula mengikuti jejaknya untuk berangkat merantau ke Papua. Meski bukan masuk ke pedalaman seperti dia, namun tak apalah menurut saya karena masih sama-sama di Papua. Selama di sini, dia pernah mengunjungi saya 2 kali.
Saat sedang berada di pulau itu, dia menerima kabar tentang kepergian ayah kami. Tentu berat baginya menerima berita itu. Apalagi dia berada di tempat yang jauh. Saya lebih beruntung karena bisa mendampingi ayah di saat-saat terakhir hidupnya.
 
Sayang sekali, beberapa tahun setelah berapa di tempat barunya, dia mulai terserang penyakit. Awalnya di kiranya itu cuma batuk biasa. Padahal semakin lama semakin buruk. Badannya tambah kurus, namun terus saja menolak saat di ajak berobat ke kota. Di tempatnya itu sendiri tidak bisa dihubungi karena sangat jauh. Hanya jika ke kota baru kami bisa saling menelpon. Dan jarak ke kota itu sangat jauh. Perjalanan berjam-jam menggunakan speed melewati sungai, dan kemudian lewat laut. Mungkin karena memikirkan perjalanan jauh itu sehingga dia tidak mau ke kota berobat. Sementara kami sendiri tidak tahu-menahu keadaannya di sana. Ketika dia akhirnya ke kota, Ibu saya membujuk untuk pulang berobat ke kampung. 
Penyakitnya semakin parah, terlebih dia sedang mengandung anak pertamanya. Mungkin karena sedang mengandung itulah maka dia ternyata tidak meminum obatnya. Menurut suaminya sering dia menemukan obat di bawah kasur. Meski kemudian beliau akhirnya melahirkan dengan selamat, namun si bayi hanya bertahan 3 hari hingga kemudian harus mendahului ibunya. 
Ketika saya dikabari hal itu, saya sungguh sedih membayangkan bagaimana kondisi kakak saya sementara saya tak ada di sampingnya. Pasti dia sangat sedih. Namun malah ternyata meski sedih, dia begitu tabah dan menerima kenyataan itu. Kondisi kesehatannya kemudian sedikit membaik dan akhirnya kembali lagi ke Kaimana karena akan mengikuti prajabatan. Namun karena kondisinya benar-benar belum pulih, suaminya belum mengijinkan untuk masuk ke tempat tugas. Kebetulan suaminya adalah rekan sesama guru dan satu lokasi di tempat tersebut. Berbulan-bulan kemudian kakak saya masih saja menderita berbagai penyakit. Sekali waktu dia ke kota saya dan sempat di kuret karena menurut dokter kandungan tempatnya berkonsultasi di sini, ternyata waktu melahirkan kemarin tidak keluar dengan bersih.
Beberapa bulan kemudian akhirnya dia memutuskan pulang lagi ke kampung untuk berobat. Dari kampung dia di rujuk lagi ke Makassar, namun kondisinya tetap parah. Saat sudah agak baik, dia kemudian kembali ke kampung. Namun hanya beberapa bulan saja dia kembali lagi masuk Rumah Sakit. Di Rumah Sakit yang sama di mana ayah saya dulu pernah di rawat dan meninggal di situ, dia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di situ juga. Saya sendiri saat sebelum kepergiannya sudah mendapat firasat sehingga mencari tiket namun kehabisan tiket pesawat, hingga akhirnya naik kapal. Saat masih dalam kapal itulah saya menerima kabar bahwa kakak saya sudah tidak ada.
Ah, segera saja melintas berbagai kenangan bersamanya. Saat-saat di mana saya sering membantahnya.. duh, menyesal sekali.. (maafkan saya sist)... Tapi saya yakin, kini dia lebih berbahagia di sana. 
Miss U so, sist...

Ah, saya benar-benar kehilangan. Saya masih sangat ingin mendengar nasihat-nasihatnya. Masih ingin bergosip meski lewat telepon tengah malam. Ingin sekali memperkenalkan anak saya baginya. Berbagi cerita kehidupan, membaca setiap catatan-catatannya. Lewat tulisan-tulisannya itulah saya akhirnya tertarik dan terinspirasi juga untuk menulis. Meski hanya menulis kisah kehidupan sehari-hari, paling tidak ada jejak yang bisa saya tinggalkan nanti.

Note : Sebenarnya saya punya cita-cita membuat sebuah cerita tentang kakak saya berdasarkan pengalamannya  di kota senja Kaimana, namun hingga saat ini belum juga kesampaian.


5 komentar:

  1. ya ampun mak, akhirnya ceritanya sedih..
    airmata sudah mengenang dipelupuk mata saya...

    semoga amal ibadah kaka diterima disisiNya. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mak...
      Iya nih, mau menulis tentangnya saja sebenarnya perjuangan berat nih.. Harus terus-menerus menghapus air mata.
      :(

      Hapus
  2. terharu...kakak Kori sangat mengabdi ya....
    demi pengabdian kesehatannya pun tak dipikirkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya saya selalu salut dengan guru2 maupun petugas kesehatan yang rela ditempatkan di pedalaman Mak.

      Hapus
  3. sedih ceritanya. benar-benar terisnpirasi dengan kakanya

    BalasHapus