Sabtu, 11 Mei 2013

Hobbyku, cinta pertamaku



Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima.

Wah, tema minggu ini cukup berat. Tema cinta pertama membuat saya cukup bingung, harus menuliskan apa. Tiba-tiba saja ketika melirik ke sebelah saya dan memandangi tumpukan buku, langsung saja saya tau inilah cinta pertama saya.
Pada jaman dahulu kala.... *eh nggak deh, duluuu.... dulu sekali waktu masih kecil, sering di tanya apa cita-citamu? Selain cita-cita, pertanyaan selanjutnya adalah hobby. Dengan bangga saya selalu menyebut membaca sebagai hobby saya. Soalnya mau menjawab olahraga, tapi badan saya yang kerempeng dari dulu tak pernah menunjukkan bakat olahragawan. Tiap pelajaran olahraga saya lebih banyak jadi penonton. Kemudian jikalau menjawab musik, ah jelas tak masuk akal. Meski kadang-kadang suka mendengar musik, namun suara saya benar-benar pas-pasan. Bahkan saya tak fasih memainkan alat musik satupun. Pernah mencoba belajar gitar, yang ada malah jari-jari sakit dan kunci C yang paling dasarpun saya juga sudah lupa. Di rumah ada keyboard milik suami namun tak pernah saya sentuh. Saya lebih suka tenggelam dalam timbunan buku-buk saya.
Perkenalan awal saya dengan dunia membaca sebenarnya yang pegang andil adalah ibu saya. Beliau bekerja di perpustakan sekolah dan setiap hari selalu membawa koran bekas ke rumah. Saya yang masih balita begitu senang melihat gambar-gambar di koran itu. Kalau tidak salah koran kala itu adalah Suara Pembaruan dan Kompas. Setelah ayah saya melahap berita-berita, sayapun ikut-ikutan membuka lembaran-lembaran koran itu. Selalu ada perasaan ajaib memandangi kertas besar bertuliskan huruf-huruf itu. Perlahan ibu saya mengajari saya membaca lewat huruf-huruf besar pada judul koran. Alangkah bahagianya ketika berhasil membaca tajuk utama koran-koran itu. Sejak itu saya selalu menyukai lembaran-lembaran kertas dan senang sekali mencium bau kertas. Hmmm.. Sepertinya mulai jatuh cinta nih. :)
Selanjutnya, karena masih kecil dan kebetulan saya anak bungsu, maka saya sering di ajak ibu ke kantornya. Saya selalu terpana menyaksikan lemari-lemari besar yang penuh dengan buku. Ketika bersekolah, kebetulan sekolah saya hanya diantarai oleh sebuah lapangan besar dengan sekolah tempat kerja ibu saya. Jadi pulang sekolah saya selalu mampir ke tempat kerja ibu. Di sana saya mulai melahap bacaaan-bacaan yang ada. Karena sekolah itu adalah STM jadi tentu saja kebanyakan yang ada adalah buku pelajaran teknik. Namun ada juga beberapa buku sastra dan buku rohani. Kedua jenis buku itupun menjadi santapan saya. Jadi roman Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan beberapa buku NH Dini menjadi sahabat-sahabat saya.
Sesekali saya merajuk pada ibu agar dibiarkan berlangganan majalah Bobo, namun saat itu kondisi ekonomi orang tua saya ternyata tidak cukup mampu. Apalagi mereka harus mebiayai sekolah kakak-kakak saya, maka jadilah saya harus cukup puas dengan meminjam milik teman atau sesekali jika ada duit lebih, ibu membelikan secara eceran. Ada seorang teman akrab saya yang berlangganan majalah itu, selain itu dia juga sering dibelikan serial Donald Bebek, Pak Janggut, dan lain sebagainya oleh orangtuanya. Karena itulah saya selalu betah bermain di rumahnya, karena dia selalu dengan baik hati meminjami saya. 
Semakin bertambah usia, saya mulai berkenalan dengan Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Trio Detektif dan lain sebagainya lewat tempat rental buku. Selanjutnya sayapun berkenalan dengan Mr. Poirot dan Miss Marple, dan beberapa komik serial cantik maupun komik misteri. Serial Goosebumps dan juga majalah Aneka dan Anita mulai mengelilingi saya. Saat SMP dan SMA untungnya saya selalu punya teman yang punya banyak buku. Seorang teman SMP bahkan punya perpustakaan pribadi warisan dari kakaknya, dan saya suka sekali bermain di rumahnya.
Hingga sekarang ternyata hobby membaca ini tetap melekat dalam jiwa saya. Setelah akhirnya mampu membeli buku sendiri, saya selalu kalap kalau ke toko buku. Meski bacaan saya tetap didominasi dengan bacaan fiksi, saya selalu bahagia menghabiskan waktu dengan timbunan itu.
Oh ya, karena berada di Papua, persoalan baru mulai muncul. Di tempat saya begitu susah mendapat buku. Selain harganya mahal, buku-buku baru cukup langka. Ada sih toko buku, namun tak memuat banyak buku yang saya inginkan. Jika memesan secara online selalu terbentur pada mahalnya ongkos kirim. Kadang ongkos kirim sama dengan harga buku itu sendiri. Makanya saya kadang lebih memilih jika ada yang mau swap or sale. Selain itu saya juga bergabung di komunitas pinjam buku yang memungkinkan saya bisa meminjam buku dari teman-teman seluruh nusantara. Atau pilihan terakhir saya mencoba ebook, meski mata saya kadang cepat lelah jika membaca ebook. Ah, ternyata kalau sudah kadung cinta, pasti mencari segala cara agar bisa mendapatkan yang di mau. :)
Hingga kini ternyata hobby membaca ini tetap menjadi cinta pertama saya. Dan saya masih tetap kerempeng karena jarang berolahraga, selain olahraga otak untuk membaca. Bahkan saya tidak juga tidak pernah terpilih untuk ikut Indonesian Idol dkk... Hehehe...



3 komentar:

  1. Tambahan lagi di Papua minat bacanya sepertinya jauh lebih rendah daripada di sini di' jadi entah kapan di sana subur dengan buku ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, tapi kemungkinan itu juga karena faktor susahnya mendapat buku.

      Hapus
  2. waah mba saluut tetap hobi membaca walau buku jarang dan mahal....dl juga bacaanku sama kayak mba, siti nurbaya,sengsara membawa nimat,layar terkembang dll.tapi bukan beli melainkan pinjam di perpus sekolah hehe..kalo BOBO aku emang gak suka, walau teman sepermainanku suka pamer BOBO miliknya hehe

    BalasHapus