Hari ke-3 dst...
Siang hari yang cerah, kami langsung melaksanakan aksi berjalan ke kebun nenek yang luar biasa jauhnya. Jalan yang mendaki, juga agak becek karena hujan semalam cukup menyulitkan medan. Saya benar2 kelelahan. Hampir setengah jam berjalan karena lebih banyak waktu yang saya habiskan untuk beristirahat di jalan. Belum lagi banyaknya hewan2 kecil semacam ulat cincin yang lebih besar (mereka menyebutnya ular mata buta) membuat saya benar2 geli, dan melompat2 sepanjang jalan menghindari mereka. Wilda tidak kami bawa karena akan menyulitkan perjalanan. Untunglah kami segera tiba. Huahhh,, senangnya berada di saung kecil kebun dan berbaring menikmati udara segar yang tidak tersentuh polusi.
Onco tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera saja dia memanjat pohon langsat pertama yang kami temukan. Buahnya ranum-ranum, sudah putih, dan kelihatan menggoda dari bawah. Saya menunggu di bawah pohon sambil mencari2 buah yang jatuh karena angin ataupun karena hewan2 kecil seperti kus-kus maupun burung.
Jadilah kami berpesta langsat hari ini langsung di TKP.
Setelah kemarin tidak berhasil mendapatkan hubungan dengan dunia luar, malamnya kami mencoba lagi mencari signal di rumah seorang penduduk yang katanya hanya di tempat itu yang mampu menangkap sinyal meskipun cuma satu dua.
Di depan rumahnya sudah tergantung gelas2 plastik bekas air mineral sebagai tempat untuk meletakkan HP. Jadi letakkan saja HP-mu di sana, dan tunggu beberapa saat hingga muncul sebuah garis di pojok atas HP-mu.
Sungguh sulit.. Meski akhirnya bisa ber-sms-an itupun sangat terbatas. Saat mencoba menelpon, hanya bisa berteriak : halo... haloooooo... hingga terdengar bunyi tuttt...tuttt...
Esoknya, kami kembali menjalani rutinitas berjalan-jalan sepanjang pantai. Namun rupanya pagi ini lain, lebih banyak orang yang berada di pantai. Rupanya ombak dahsyat menghantam pagi ini. Bahkan lebih parah dari kemarin2, beberapa pohon kelapa tumbang tak mampu melawan kekuatan alam. Juga tembok2 pengahalang di pinggir pantaipun tak luput dari amukan si ombak keras. Kami hanya termangu-mangu memandanginya sambil bercakap2 dengan penduduk. Ketakutan mulai menghampiri suami saya, dia tidak berani jika ombak seperti ini sampai kepulangan kami nanti. Dia bahkan mulai merencanakan perjalanan pulang nanti lewat rute lain saja meski lebih jauh namun lebih aman menurutnya, tak perlu mengahadapi keganasan ombak.
Namun selalu ada saja rencana Tuhan, ombak2 dahsyat ini mulai berhenti seiring dengan waktu kepulangan kami yang semakin dekat. Thanks God.
Sore hari sehabis mancing, Onco mengajak saya berenang. Katanya ombak seperti ini sangat menantang untuk bermain nata.. Main nata adalah bermain ombak dengan menggunakan papan seluncur serupa sedang surfing. Yeappp... asyik sekali. Papan2 yang di buat secara manual ini sangat menyenangkan. Mulanya saya takut mencoba, tapi demi melihat anak2 kecil yang menggunakan papan kecil saja bernyali untuk melakukannya, maka saya pun ikut mencoba. Awalnya saya tak pernah berhasil meluncur hingga tepi pantai, yang ada saya malah tertampar ombak sehingga air seakan2 meemasuki telinga dan hidung, namun Onco mengajari saya agar lebih rileks, dan membiarkan badan terbawa ombak, kemudian dengan salah satu tangan memegang ujung papan, salah satunya mengayuh seperti dayung. Dan syuuuuuuurrrrrlll.............. serta merta sayapun terbawa sampai ujung... Menegangkan sekaligus mengasyikkan. Adrenalin seoalh terpompa saat ombak menyeret kita ke pantai. Tiba di ujung pantai, tertatih-tatih saya bangun dan kembali terjatuh saat di tampar ombak, saya menyempatkan untuk mengacungkan jempol ke arah Onco.
Berkali-kali saya melakukannya, meski perjuangan berat untuk kembali ke tengah laut sambil membawa papan yang berat hampir seukuran tubuh.
Jadi pelajaran moralnya, ombak tak hanya menakutkan, namun juga mengasyikkan.
Selanjutnya ini adalah kegiatan rutin kami setiap sore. Memancing, meski kadang2 jarang sekali memperoleh ikan. Namun kebahagiaan tersendiri ketika merasakan mata kailmu tertarik-tarik dan rupanya seekor ikan kecil telah berada di ujung kail. Dan strikeeee..... seruan itu benar2 merdu terdengar.
Dan juga bermain nata.
Sekali-kali kami juga ke kebun dan juga mendaki ke puncak tanjung batu mencari signal. Dan syukurlah, perjalan kedua ke tanjung batu tidak sia2. Kami berhasil menghubungi orang rumah dan juga setiap orang yang hendak kami telepon. Sinyal full tanpa kendali. Horeeee.............
Tiga kali saya ke kebun, dan perjalanan kedua serta ketiga tidak lagi melelahkan. Mungkin sudah terbiasa.
Perjalanan kedua kami di sertai oleh beberapa keponakan sambil membawa bakul juga baskom untuk di isi langsat. Saya juga tidak mau ketinggalan. Pohon langsat pun saya panjat meski banyak semut hitam. Hehehe... enak lho makan langsat langsung di pohon.
Kadang2 karena pagi hingga siang tidak melakukan apa2 maka kami sering mengunjungi teman2 lama Onco, ataupun menyambangi saudara2nya di rumah masing2. Sekali kami ke Mama Teng Ida, melihat dia membuat roti, lumayan menambah ilmu chef saya yang tidak maju2 juga.
Oh ya, kamu pasti heran, selama saya melakukan kegiatan2 harian saya, Wilda di kemanain? Diapun punya kegiatan sendiri. Berada di kampung tanpa perlu takut kendaraan seperti di rumah, dia asyik kesana kemari. Sepupu2nya yang seusianya Nyong Manu dan Delon2 (sebenarnya namanya Delon saja namun Wilda lebih senang memanggilnya Delon-delon) selalu setia mengajaknya bermain. Kadang2 mereka mandi bersama di bawah kran di samping rumah, meski sekali-kali pula saya ajak bermain ombak di pantai. Kadang pula mereka main karet, dan yang paling heboh adalah mereka berjoget bersama diiring lagu Tanjung Kelapa.
Kami tidak perlu khawatir meninggalkannya karena ada kakek neneknya yang menjaga, Tete Mus dan Nenek Oli, juga sepupu2nya yang lain selalu senang menjaganya. Meski Wilda nih kadang2 nakal juga, pernah dia menggigit tangan Nyong Manu dan juga memukul kepala Delon.
Hingga akhirnya tibalah hari terakhir kami di kampung. Besok subuh kami akan meninggalkan tempat menyenangkan ini. Entah kapan lagi bisa kembali.. Malam sebelum berangkat, segenap keluarga berkumpul di rumah sambil duduk ngobrol2. Tidak ada yang absen, bahkan bayi Des yang baru berumur 4 bulan ikut nimbrung. Rumah menjadi ramai karena kumpulan keluarga besar yang berceloteh hingga jam 10 malam satu per satu mulai mengundurkan diri pamit di sertai pesan2 buat kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar