Tadi pagi merupakan pengalaman yang cukup mengerikan bagi saya. Ceritanya, masih subuh kami sudah ke bandara mengantar Wilda dan Papanya yang akan berangkat ke Ambon. Pesawat mereka berangkat cukup pagi yakni pukul 06.00. Sementara mereka harus lapor pukul 04.30. Namun kami turun ke bandara pukul 05.00, itupun setelah taksi yang sudah kami pesan malam sebelumnya gak muncul-muncul, terpaksalah kami naik angkot. Meski berdesakan dengan para penjual yang bergulat dengan barang dagangannya yang akan di bawa ke pasar, namun kami cukup senang karena tak mudah mendapatkan angkot di pagi buta seperti tadi.
Tiba di bandara, sungguh berat rasanya melepas mereka. Apalagi melihat si kecil yang begitu kegirangan hendak naik pesawat dan kemudian dadah-dadahan. Sebelumnya saya sudah menasihatinya macam-macam, jangan nakal, jangan nangis, kalau mau muntah bilang, duduk manis dan lain sebagainya. Dia hanya mengangguk mengiyakan semua nasihat saya.
Meski kemudian ternyata kata Papa dalam pesawat dia menangis mencari saya, juga waktu turun celingukan kesana kemari mencari mamanya. :)
Nah, sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya saya pulang. Papa sempat bilang, tunggu aja dulu di bandara sampai agak terang baru keluar. Namun begitu pesawat berangkat, yang ada malah bandara jadi kosong melompong karena itu satu-satunya penerbangan untuk pagi itu.
Sayapun berjalan pelan-pelan keluar lokasi bandara menuju ke jalan raya. Masih gelap, karena tadi pesawat mereka bukannya telat seperti jadwal pesawat kebanyakan, tapi malah kecepatan 15 menit. Sayapun menunggu angkot di pinggir jalan. Beberapa ojek melewati saya namun saya tak berani naik. Tentu saja jam segini belum ada angkot yang jalan. Kemudian sebuah ojek kembali berhenti di depan saya, akhirnya saya memberanikan diri naik setelah sebelumnya nego harga. Dia meminta 30ribu untuk ke rumah saya, dan karena menurut saya cukup wajar karena memang rumah saya cukup jauh dari bandara. Tukang ojek kemudian melaju, namun kemudian saya mulai cemas karena dia melarikan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Sudah lewat beberapa kilometer ketika tiba-tiba sebuah kaki menendang kaki saya dan saat saya menngamati si pembuat gangguan itu, yakni seorang pemuda yang juga naik motor, mulutnya komat-kamit sambil membuat gerakan menyuruh saya turun dari ojek yang saya naiki. Hati saya mulai dag-dig dug tak karuan. Aduh, bagaimana ini? Apa saya harus turun atau bagaimana? Sementara si tukang ojek tetap melaju kencang, dan kondisi jalanan memang masih sepi dari kendaraan.
Akhirnya karena ketakutan, mendekati sebuah daerah yang agak terang karena banyak lampu jalan saya pura-pura menerima telepon dan kemudian menepuk pundak si tukang ojek meminta dia menurunkan saya dengan alasan ada teman yang akan menjemput. Namun si tukang ojek tetap melaju kencang.. Duh, saya tambah takut. Jadi saya menepuk pundaknya lebih keras dan bersuara juga lebih keras. Rupanya tadi tukang ojek tak mendenganr saya, dan akhirnya dia memelankan motornya, dan sayapun turun sambil meminta maaf karena tak sampai di tujuan. Saya memberinya setengah dari harga perjanjian semula. Toh, rumah saya masih jauh, dan dia tak keberatan. Ketika dia memutar motornya, saya berjalan pelan-pelan ke seorang ibu penjual nasi kuning di pinggir jalan.Bingung harus berbuat apa, sayapun membeli nasi kuning, padahal gak ada rencana... eh, sudah gitu ibu-ibu itu sewot banget orangnya gara-gara saya awalnya bilang mau beli 2 bungkus, tapi ketika tersadar buat apa beli 2 bungkus sementara tinggal saya sendiri di rumah, dan saya mengganti pesanan saya jadi 1 bungkus. Duh, ibu, kamu nggak tahu jantung saya masih gemetaran tak karuan. Menenteng sebungkus nasi kuning, saya duduk di sebuah pangkalan ojek lagi. Seorang bapak tukang ojek tak lama kemudian muncul, namun hanya 5 menit kemudian dia pergi lagi karena ada yang memanggil. Padahal saat itu saya masih sedang menimbang-nimbang apa harus naik ojek lagi atau tidak. Masih duduk sendiri, tiba-tiba si pemuda yang menyodok kaki saya tadi lewat dan berhenti di depan saya.
Dia : "Hei, kenapa duduk di sini? Memangnya mau ke mana?"
Saya : " Lagi nunggu teman?"
Dia : " Mau ke mana? Ayo ikut saya sudah, nanti saya antar. Tadi kamu yang berdiri depan bandara to?"
Saya : bergidik danmulai memasang sikap waspada.. "iya, saya mau pulang, tapi ini lagi nunggu teman."
Dia : "Lalu tadi bikin apa di bandara?"
Saya : duh ini orang kok jadi tambah banyak pertanyaan... "ah tadi antar orang.."
Dia : "Oh, pesawat subuh ya.."
Saya : "iya"
Dia : "Yuk.. mari saya antar..."
Saya : "Ah, tidak usah... Kakak duluan sudah... teman saya tidak lama lagi muncul kok."
Hufft, tiba-tiba save by the bell.. eh, save by tukang ojek lagi.. Seorang tukang ojek muncul di pangkalan tersebut, dan si pemuda itupun pergi. Matahari yang saya tunggu-tunggu akhirnya keluar perlahan. Hampir setengah jam saya menanti angkot dengan sebungkus nasi kuning di tangan. Dan ketika angkot warna biru itu muncul, hati saya bersorak bukan kepalang. Oh, akhirnya selamat..selamat...
Nggak lagi-lagi deh, saya memberanikan diri pergi sendiri seperti itu pagi-pagi buta. Ah, seandainya tadi saya ikutin saja saran suami untuk menunggu dalam ruang tunggu bandara meski cuma ditemani petugas bandara yang sedang terkantuk-kantuk, mungkin saya lebih aman dan jantung saya tak bakalan mengalami serangan dag dig dug di pagi itu.
Meski kemudian saya berfikir, bapak tukang ojek yang mengantar saya tadi bisa saja melajukan kendaraannya dengan cepat agar cepat pula tiba. Namun karena tadi rasa ketakutan saya lebih besar, apalagi perjalanan ke rumah saya dari kota melewati hutan yang cukup sepi. Uh, biarlah.. demi amannya, lebih baik saya duduk menunggu saja di pinggir jalan.
Dan seperti kata saya pada si Pemuda itu bahwa saya sedang menunggu teman, memang benar saya lagi nunggu teman saya si sopir angkot. :)
Tiba di bandara, sungguh berat rasanya melepas mereka. Apalagi melihat si kecil yang begitu kegirangan hendak naik pesawat dan kemudian dadah-dadahan. Sebelumnya saya sudah menasihatinya macam-macam, jangan nakal, jangan nangis, kalau mau muntah bilang, duduk manis dan lain sebagainya. Dia hanya mengangguk mengiyakan semua nasihat saya.
Meski kemudian ternyata kata Papa dalam pesawat dia menangis mencari saya, juga waktu turun celingukan kesana kemari mencari mamanya. :)
Nah, sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya saya pulang. Papa sempat bilang, tunggu aja dulu di bandara sampai agak terang baru keluar. Namun begitu pesawat berangkat, yang ada malah bandara jadi kosong melompong karena itu satu-satunya penerbangan untuk pagi itu.
Sayapun berjalan pelan-pelan keluar lokasi bandara menuju ke jalan raya. Masih gelap, karena tadi pesawat mereka bukannya telat seperti jadwal pesawat kebanyakan, tapi malah kecepatan 15 menit. Sayapun menunggu angkot di pinggir jalan. Beberapa ojek melewati saya namun saya tak berani naik. Tentu saja jam segini belum ada angkot yang jalan. Kemudian sebuah ojek kembali berhenti di depan saya, akhirnya saya memberanikan diri naik setelah sebelumnya nego harga. Dia meminta 30ribu untuk ke rumah saya, dan karena menurut saya cukup wajar karena memang rumah saya cukup jauh dari bandara. Tukang ojek kemudian melaju, namun kemudian saya mulai cemas karena dia melarikan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Sudah lewat beberapa kilometer ketika tiba-tiba sebuah kaki menendang kaki saya dan saat saya menngamati si pembuat gangguan itu, yakni seorang pemuda yang juga naik motor, mulutnya komat-kamit sambil membuat gerakan menyuruh saya turun dari ojek yang saya naiki. Hati saya mulai dag-dig dug tak karuan. Aduh, bagaimana ini? Apa saya harus turun atau bagaimana? Sementara si tukang ojek tetap melaju kencang, dan kondisi jalanan memang masih sepi dari kendaraan.
Akhirnya karena ketakutan, mendekati sebuah daerah yang agak terang karena banyak lampu jalan saya pura-pura menerima telepon dan kemudian menepuk pundak si tukang ojek meminta dia menurunkan saya dengan alasan ada teman yang akan menjemput. Namun si tukang ojek tetap melaju kencang.. Duh, saya tambah takut. Jadi saya menepuk pundaknya lebih keras dan bersuara juga lebih keras. Rupanya tadi tukang ojek tak mendenganr saya, dan akhirnya dia memelankan motornya, dan sayapun turun sambil meminta maaf karena tak sampai di tujuan. Saya memberinya setengah dari harga perjanjian semula. Toh, rumah saya masih jauh, dan dia tak keberatan. Ketika dia memutar motornya, saya berjalan pelan-pelan ke seorang ibu penjual nasi kuning di pinggir jalan.Bingung harus berbuat apa, sayapun membeli nasi kuning, padahal gak ada rencana... eh, sudah gitu ibu-ibu itu sewot banget orangnya gara-gara saya awalnya bilang mau beli 2 bungkus, tapi ketika tersadar buat apa beli 2 bungkus sementara tinggal saya sendiri di rumah, dan saya mengganti pesanan saya jadi 1 bungkus. Duh, ibu, kamu nggak tahu jantung saya masih gemetaran tak karuan. Menenteng sebungkus nasi kuning, saya duduk di sebuah pangkalan ojek lagi. Seorang bapak tukang ojek tak lama kemudian muncul, namun hanya 5 menit kemudian dia pergi lagi karena ada yang memanggil. Padahal saat itu saya masih sedang menimbang-nimbang apa harus naik ojek lagi atau tidak. Masih duduk sendiri, tiba-tiba si pemuda yang menyodok kaki saya tadi lewat dan berhenti di depan saya.
Dia : "Hei, kenapa duduk di sini? Memangnya mau ke mana?"
Saya : " Lagi nunggu teman?"
Dia : " Mau ke mana? Ayo ikut saya sudah, nanti saya antar. Tadi kamu yang berdiri depan bandara to?"
Saya : bergidik danmulai memasang sikap waspada.. "iya, saya mau pulang, tapi ini lagi nunggu teman."
Dia : "Lalu tadi bikin apa di bandara?"
Saya : duh ini orang kok jadi tambah banyak pertanyaan... "ah tadi antar orang.."
Dia : "Oh, pesawat subuh ya.."
Saya : "iya"
Dia : "Yuk.. mari saya antar..."
Saya : "Ah, tidak usah... Kakak duluan sudah... teman saya tidak lama lagi muncul kok."
Hufft, tiba-tiba save by the bell.. eh, save by tukang ojek lagi.. Seorang tukang ojek muncul di pangkalan tersebut, dan si pemuda itupun pergi. Matahari yang saya tunggu-tunggu akhirnya keluar perlahan. Hampir setengah jam saya menanti angkot dengan sebungkus nasi kuning di tangan. Dan ketika angkot warna biru itu muncul, hati saya bersorak bukan kepalang. Oh, akhirnya selamat..selamat...
Nggak lagi-lagi deh, saya memberanikan diri pergi sendiri seperti itu pagi-pagi buta. Ah, seandainya tadi saya ikutin saja saran suami untuk menunggu dalam ruang tunggu bandara meski cuma ditemani petugas bandara yang sedang terkantuk-kantuk, mungkin saya lebih aman dan jantung saya tak bakalan mengalami serangan dag dig dug di pagi itu.
Meski kemudian saya berfikir, bapak tukang ojek yang mengantar saya tadi bisa saja melajukan kendaraannya dengan cepat agar cepat pula tiba. Namun karena tadi rasa ketakutan saya lebih besar, apalagi perjalanan ke rumah saya dari kota melewati hutan yang cukup sepi. Uh, biarlah.. demi amannya, lebih baik saya duduk menunggu saja di pinggir jalan.
Dan seperti kata saya pada si Pemuda itu bahwa saya sedang menunggu teman, memang benar saya lagi nunggu teman saya si sopir angkot. :)
Bacanya ikut dag dig dug juga :) Untung ya ga terjadi apa-apa. Wilda sama papanya mau kemana?
BalasHapusYuPp.. Untungnya gak kenapa2.. Uh, masih ngeri..
HapusWilda n papanya mau pulang kampung.
bener2 bikin deg2an ya. Kl sy juga kayaknya udah ditambah kepengen nangis
BalasHapusuhh, karena ketakutan saya jadi lupa pengen nagis..
Hapusdilematis... tapi memang mendingan nunggu di bandara yah :(
BalasHapus