Seharusnya tanggal 25 Maret kemarin saya berangkat untuk tugas kantor ke Manokwari. Tapi apa daya, beberapa hari menjelang keberangkatan, Papa Wilda menyatakan bahwa sepertinya dia kurang enak badan. Meski ragu, saya terlanjur memesan tiket karena harus berangkat bersama-sama beberapa orang teman. Untuk keperluan ijin, surat tugas dan sebagainya sudah saya bereskan. Juga memberi tahu beberapa teman lain yang di puskesmas yang di tunjuk untuk mengikuti kegiatan sudah fix.
Hingga 2 hari menjelang hari H saya masih tak mampu memutuskan jadi berangkat apa nggak. Sementara entah apa gara-gara terlalu tegang menyaksikan pertandingan bola Indonesia vs Arab Saudi sebelumnya, malamnya si Papa tiba-tiba malah nggak bisa tidur. Malarianya kembali kumat, dan bahkan maag pun ikut-ikutan menyerang.
Esoknya saya memanggil seorang mantri yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah kami untuk memasang infus di rumah. Meski suami sudah meminta untuk ke Rumah sakit saja, tapi karena saya masih kurang yakin, saya bilang sudah di infus saja dulu. Palingan setelah cairan masuk, tenaganya kembali pulih. Kalau sudah pulih, tentu saya bisa berangkat tanpa khawatir.
Tapi kemudian saya kembali berfikir. Tega banget sih saya, masih memikirkan perjalanan saya untuk besok padahal suami lagi sakit. Akhirnya saya memutuskan untuk menelpon bos saya dan membatalkan keberangkatan saya. Toh, masih banyak teman lain yang ikut kegiatan itu. Hanya saja itu berarti saya harus mengganti biaya tiket yang sudah terlanjur di beli oleh teman saya.
Pagi-pagi, saya ke bandara menyerahkan setumpuk berkas administrasi ke teman yang berangkat, sambil saya minta maaf tak bisa ikut bersama mereka. Belum juga sampai di rumah, si Papa sudah sms terus menyuruh cepat pulang.. Duh, Papa, saya bahkan belum sejam pergi... (kamu kangen ya..?hehehe..)
Karena menurut Papa, dia tidak ada perubahan, akhirnya kami memutuskan untuk ke RS saja. Karena RS terdekat adalah RS pemerintah dan kebetulan kami punya fasilitas kartu A*K*S, tentunya RS itulah yang menjadi tujuan pertama kali. Namun ternyata apa daya, RS tak menerima pasien dengan alasan tempat tidur tak cukup. Meski kami membujuk minta kelas VIP, tapi mereka berkeras tak ada tempat.
Jiahhh... baiklah. Perjalanan dilanjutkan mencari RS selanjutnya. Akhirnya sebuah RS Swasta menjadi pilihan. Di RS ini juga ternyata tak ada kamar kosong. Terpaksa lagi... saya minta kamar VIP yang muahhhaalnya selangit. Katanya sih ada. Jadi masuklah Papa opname hari itu. Di kamar VIP yang cukup mewah itu (setimpallah dengan harganya..) seorang suster kemudian mengantar makan siang. Kemudian saya mencoba berbincang dengan suster menanyakan apa memang nggak ada kamar kosong di kelas 1? Ternyata suster ruangan memang lebih tau situasi. Katanya hari itu ada yang keluar, kalau mau kami bisa pindah ke sana. Horee.. suster kamu baik deh. mmuach..
Tidak lama kemudian dokter datang melakukan visite dan kemudian saya baru menyadari bahwa saya sungguh kelaparan. Karena dari rumah saya tak membawa bekal apa-apa, saya kemudian menyempatkan diri ke supermarket terdekat membeli cemilan ala kadarnya. Saat kembali ke kamar VIP, saya sempat panik, Nah lho kok kosong? Mana suami saya?
Saya baru ingat untuk memeriksa HP, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari suami saya dan sebuah pesan singkat bahwa dia sudah pindah kamar. Duh, salah alamat deh saya..
Malam itu kami tidur di RS. Untunglah walaupun kelas 1, tapi kamar ini juga punya 2 bed, yang mana satu disiapkan untuk pasien, satu untuk yang jaga.
Setelah berbagai macam obat yang diinjeksikan ke dalam selang infusnya dan sepertinya ada sebuah obat penenang yang diresepkan dokter, malam itu Papa bisa tidur nyenyak. Pagi harinya dia bahkan sudah merasa kuat dan bilang sebaiknya kami keluar saja sebentar siang setelah dokter visite.
Memang benar, dokter membolehkan pulang, dan jadilah cerita menginap semalam di RS ini.
Hingga 2 hari menjelang hari H saya masih tak mampu memutuskan jadi berangkat apa nggak. Sementara entah apa gara-gara terlalu tegang menyaksikan pertandingan bola Indonesia vs Arab Saudi sebelumnya, malamnya si Papa tiba-tiba malah nggak bisa tidur. Malarianya kembali kumat, dan bahkan maag pun ikut-ikutan menyerang.
Esoknya saya memanggil seorang mantri yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah kami untuk memasang infus di rumah. Meski suami sudah meminta untuk ke Rumah sakit saja, tapi karena saya masih kurang yakin, saya bilang sudah di infus saja dulu. Palingan setelah cairan masuk, tenaganya kembali pulih. Kalau sudah pulih, tentu saya bisa berangkat tanpa khawatir.
Tapi kemudian saya kembali berfikir. Tega banget sih saya, masih memikirkan perjalanan saya untuk besok padahal suami lagi sakit. Akhirnya saya memutuskan untuk menelpon bos saya dan membatalkan keberangkatan saya. Toh, masih banyak teman lain yang ikut kegiatan itu. Hanya saja itu berarti saya harus mengganti biaya tiket yang sudah terlanjur di beli oleh teman saya.
Pagi-pagi, saya ke bandara menyerahkan setumpuk berkas administrasi ke teman yang berangkat, sambil saya minta maaf tak bisa ikut bersama mereka. Belum juga sampai di rumah, si Papa sudah sms terus menyuruh cepat pulang.. Duh, Papa, saya bahkan belum sejam pergi... (kamu kangen ya..?hehehe..)
Karena menurut Papa, dia tidak ada perubahan, akhirnya kami memutuskan untuk ke RS saja. Karena RS terdekat adalah RS pemerintah dan kebetulan kami punya fasilitas kartu A*K*S, tentunya RS itulah yang menjadi tujuan pertama kali. Namun ternyata apa daya, RS tak menerima pasien dengan alasan tempat tidur tak cukup. Meski kami membujuk minta kelas VIP, tapi mereka berkeras tak ada tempat.
Jiahhh... baiklah. Perjalanan dilanjutkan mencari RS selanjutnya. Akhirnya sebuah RS Swasta menjadi pilihan. Di RS ini juga ternyata tak ada kamar kosong. Terpaksa lagi... saya minta kamar VIP yang muahhhaalnya selangit. Katanya sih ada. Jadi masuklah Papa opname hari itu. Di kamar VIP yang cukup mewah itu (setimpallah dengan harganya..) seorang suster kemudian mengantar makan siang. Kemudian saya mencoba berbincang dengan suster menanyakan apa memang nggak ada kamar kosong di kelas 1? Ternyata suster ruangan memang lebih tau situasi. Katanya hari itu ada yang keluar, kalau mau kami bisa pindah ke sana. Horee.. suster kamu baik deh. mmuach..
Tidak lama kemudian dokter datang melakukan visite dan kemudian saya baru menyadari bahwa saya sungguh kelaparan. Karena dari rumah saya tak membawa bekal apa-apa, saya kemudian menyempatkan diri ke supermarket terdekat membeli cemilan ala kadarnya. Saat kembali ke kamar VIP, saya sempat panik, Nah lho kok kosong? Mana suami saya?
Saya baru ingat untuk memeriksa HP, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari suami saya dan sebuah pesan singkat bahwa dia sudah pindah kamar. Duh, salah alamat deh saya..
Malam itu kami tidur di RS. Untunglah walaupun kelas 1, tapi kamar ini juga punya 2 bed, yang mana satu disiapkan untuk pasien, satu untuk yang jaga.
Setelah berbagai macam obat yang diinjeksikan ke dalam selang infusnya dan sepertinya ada sebuah obat penenang yang diresepkan dokter, malam itu Papa bisa tidur nyenyak. Pagi harinya dia bahkan sudah merasa kuat dan bilang sebaiknya kami keluar saja sebentar siang setelah dokter visite.
Memang benar, dokter membolehkan pulang, dan jadilah cerita menginap semalam di RS ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar