Jumat, 17 Mei 2013

Dua sisi yang akhirnya menyatu



Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam.


Seperti yang saya ceritakan di minggu sebelumnya, saya ini suka sekali membaca buku. Bahkan membaca sudah menjadi hobby yang kalau tidak dilakukan dalam sehari seperti ada yang hilang. :) Tapi syukurlah sampai sekarang saya belum memerlukan bantuan kaca mata untuk membaca. Kan sering tuh digambarkan, kalau si kutu buku itu rambutnya panjang, di kepang dua, kemudian memakai kacamata pantat botol. Hehehe.. Itu sih di sinetron. Untunglah mata saya masih sehat, jadi masih bisa fokus menghabiskan timbunan bacaan di rumah.
Nah, kebiasaan membaca saya ini sering kali mendapat protes dari suami. Karena kadang-kadang saya memang agak boros kalau belanja buku. Sudah tahu kan, harga buku-buku di sini mahal, tapi setiap masuk ke toko buku pasti menghabiskan ratusan ribu rupiah. Belum lagi kalau belanja online, ongkos kirim yang mahal menjadikan harganya malah lebih naik lagi.
Nah jelas kan, ternyata hobby juga butuh biaya. Inilah yang sering jadi bahan omelan suami saya. Katanya buku sudah banyak-banyak, ngapain di tambah lagi. Baca saja yang ada.
"Tapi kan buku baru terus ada bang," saya mencoba ngeles... :D
Agar tak terus diomeli, akhirnya saya mensiasati hobby saya dengan cara membeli buku-buku bekas. Tentu saja buku second harganya lebbih miring. Tapi meski bekas, tak apalah menurut saya, yang penting masih bisa di baca. Atau kalau ada teman yang ke luar kota alias ke Jawa atau Makassar, maka saya akan menitip buku. Kan bisa dapat harga lebih murah tuh. Selain itu saya juga sering meminjam buku ke kawan-kawan senusantara lewat situs pinjambuku. Lega deh, akhirnya permasalahan selesai.
Tapi ternyata kemudian timbul masalah baru lagi.
Di satu sisi, suami saya juga punya hobby sendiri. Kegemarannya adalah terhadap musik. Meski tak lihai-lihai amat, dia bisa memainkan gitar dan keyboard. Nah, jelas saja ini kemudian menjadi sumber protes saya. Namanya juga orang Ambon, pasti tak pernah lepas dengan bunyi musik yang keras, mana speakernya gede-gede lagi. Kalau sedang ingin memutar lagu, pasti dengan volume besar. Meski saya tak alergi terhadap musik, namun saya sendiri kadang tak tahan mendengarnya jika mendengar suara keras seperti itu. Tapi apa mau di kata itu hobbynya dia. Saya cuma mencoba mendukung saja. Meski kadang-kadang telinga sampai budek. :/
Saya melayangkan sejuta protes, bilang kalau bisa volumenya dikecilin dikit, tapi suami bilang kalau suaranya kecil cuma bisa dengar dalam ruangan itu saja. Kalau pindah ke ruangan lain nanti nggak kedengaran. Katanya, masa saya harus bawa-bawa speaker setiap pindah ruangan? Saya cuma bisa manyun.
Kemudian, tiba-tiba saja suatu hari dia pulang membawa sebuah keyboard ke rumah. Wakkss?? Ini barang saya tahu harganya tidak murah. "Pemborosaaannnn...." teriak saya.
Tapi suami dengan santainya bilang," ini harga buku-bukumu kalau di total pasti lebih mahal lho dari harga keyboardku."
Uh, mungkin benar juga sih... :)
Akhirnya setiap hari rumah kami mulai berisik dengan alunan keyboard suami.
Kalau dia lagi main, tak peduli saya lagi khusyuk membaca, pasti keyboard di mainkan sampai berisik. Mana keyboardnya diletakkan di kamar karena belum ada ruangan khusus untuk menaruhnya. Huahhh.. kalo sudah begini, saya yang harus mengalah, mencari tempat lain untuk bisa membaca lebih tenang.
Saya sering memohon-mohon agar tidak usah membunyikan musik dengan volume keras. Tapi suami cuma bilang, dinikmati saja, lama-lama pasti terbiasa. Musik itu keren lho.. katanya.
Kalau begini terus, kapan bacaan saya bisa selesai nih, dan  saya mulai mencoba mencari akal. Karena seperti saya bilang di atas, kalau saya juga sebenarnya tidak alergi amat mendengarkan musik, maka saya mencoba membaca dengan menggunakan headset sambil mendengarkan musik. Lama-lama akhirnya saya terbiasa dan perlahan sudah bisa mulai melepas headset dan mencoba membaca ditemani alulnan musik dari pemutar CD si abang. Awalnya saya bikin tidak begitu keras, lama-lama saya kencangkan volumenya. Dan sekarang....akhirnya biar si abang memutar musik sekeras apapun, ataupun memainkan keyboardnya di depan mata saya, saya tetap anteng dengan bacaan saya. Hehehe...



4 komentar:

  1. Hehehe... beda hobby dengan suami ya?

    Saya juga seperti mba, suka baca buku dan menimbun buku dengan membeli buku online, dan tentu saja dapat protes, karena belum tentu dibaca semua, apalagi belum ada tempat khusus untuk menaruh buku-buku tersebut :-)

    Suami saya suka olahraga, menonton dan memainkannya. sepakbola, bulu tangkis, F1, tinju, ah semua deh, jadi acara olahraga mendominasi tayangan televisi di ruamh kami. syukurlah saya bukan penggemar sinetron jadi nggak harus rebutan remote :-)

    Memahami perbedaan sebenarnya sebuah seni dan keterampilan yang harus diasah terus menerus. Perbedaan membuat hidup lebih berwarna kan Mba ;-)

    BalasHapus
  2. Alah bisa karena biasa. Karena dibiasakan, jadi lama-lama terbiasa juga saling mengerti kesukaan satu sama lain..Perbedaan memang mutlak adanya, tapi bagaimana kita mencari solusi untuk berdamai dengan perbedaan itu. Karena, dua sisi yang berbeda, diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain.

    BalasHapus
  3. @Aisyah & Shaela : bener banget yah, perbedaan itu warna dalam hidup, yang penting bagaimana kita menghadapinya dengan menjadi lebih baik.. :)

    BalasHapus
  4. Itu bukti bahwa perempuan memang bisa multi tasking, mama Wilda. Asyik, malah bisa kompromi dengan suami ya. Keren deh :)

    BalasHapus