Hari Sabtu kemarin tanggal 27 Juli 2013 merupakan perayaan Ulang
Tahun yang ke-32 tahun Jemaat Immanuel Malawili, Gereja GKI tempat kami beribadah selama
ini. Usia yang sudah cukup dewasa. Konon menurut cerita para tua-tua jemaat,
para pendiri jemaat ini hanyalah ada 7 KK
yang beribadah dari rumah ke rumah, kemudian mendapat tempat di sebuah
Sekolah Dasar untuk beribadah. Tak lama kemudian anggotanya semakin bertambah
seiring dengan kedatangan para transmigran dari tanah Jawa dan juga para
pendatang dari suku-suku lain. Hingga sekarang ini ada beragam suku dalam
Gereja kami , dan oleh karena keragaman itu pula maka di acara perayaan Ulang
Tahun yang kemarin diadakan, dimeriahkan dengan acara penampilan kesenian
tradisional asal masing-masing suku.
Namun dengan persiapan yang begitu singkat, hanya sekitar
satu minggu membuat para suku agak kesulitan menampilkan kesenian tradisional
mereka yang terbaik. Tapi keterbatasan waktu itu tidak menyurutkan semangat
untuk terus berlatih setiap hari. Selain
itu pula, masing-masing suku diharapkan menyajikan makanan tradisional asal
suku mereka untuk di santap bersama-sama. Tak perlu yang mewah-mewah, cukup di
buat sesederhana mungkin, yang penting kebersamaannya.
Beberapa waktu sebelum hari H, sudah diadakan berbagai
lomba-lomba menarik dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun tersebut. Dan
akhirnya tibalah acara puncak, di Sabtu kemarin. Tenda didirikan di luar untuk
menampung jemaat yang hadir yang ternyata antusiasmenya cukup tinggi mengingat
cuaca hujan yang kurang mendukung. Dengan MC andalan Mas Joko serta Song Leader
Diandini, dimulailah kemeriahan acara di hari itu. Setelah Doa Pembukaan oleh Bapak Karel Mustamu, dan dilanjutkan
dengan laporan panitia oleh Ibu Tanser yang sekaligus merupakan ketua unsur PAR
(Persekutuan Anak & Remaja) yang memang di daulat untuk menjadi Panitia
kegiatan ini, maka pertunjukan seni budaya dari masing-masing suku mulai
tampil.
Di mulai dengan Suku Jawa, menampilkan kesenian tari-tarian
Gundul-gundul pacul dan dua buah tarian lain (saya lupa namanya). Juga
permainan tradisional Cublak-cublak Suwong, sebuah jenis permainan yang sudah
sangat jarang ditemui sekarang ini. Anak-anak sepertinya lebih memilih mainan
dari gadget keren mereka dan sudah melupakan permainan tradisional ini. Dan
yang unik, si penari-penari cilik itu tak hanya murni dari suku Jawa saja. Ada
Tasya yang berdarah Ambon Manado, juga Jeni yang mamanya Ambon. Sungguh asyik
memandangi bocah-bocah kecil itu menari dengan luwes, meski kadang terhenti
jika musik ikut berhenti dan saling berdebat jenis gerakan selanjutnya.
Hujan tak kunjung reda sementara tempat duduk kami di bagian
pinggir yang tentu saja dengan mudah terkena percikan hujan serta gempuran
angin dingin. Saya yang awalnya duduk di tenda penonton akhirnya menyerah dan
naik ke bagian belakang panggung. Agak
repot juga, karena saya ingin sekali mengambil gambar namun sayang karena hujan
dan sementara itu saya juga sibuk menggendong si kecil membuat gerakan saya terbatas.
Maklum, sudah mak – mak … Itulah sebabnya saya hanya mampu mengambil beberapa
gambar dari samping maupun dari belakang. Sayang sebenarnya… :(
Setelah bocah-bocah Jawa menari, dilanjutkan dengan nyanyian
Jawa oleh para orangtua mereka. Dan lagi, saya lupa judulnya apa, kalo nggak
salah Monggo-monggo Gusti…
Penampilan selanjutnya adalah dari Suku Manado bercampur
dengan Sangir. Yang penting dari Sulawesi Utara. Mereka menampilkan sebuah
tarian, (dan maafkan daku, lagi-lagi lupa namanya sejenis Sajojo tapi dengan
musik yang lain) dan dikatakan itu adalah tarian pergaulan. Dibawakan dengan
ciamik oleh 4 gadis remaja, Liany, Arcita, Citra dan adiknya Sejatri, diiringi
dengan lagu yang entah apa judulnya, tapi liriknya memang sangat mengundang
untuk bergoyang, kurang lebih seperti ini : “nona manis putarlah ke kiri..ke
kiri.. ke kiri.. ke kiri manise…” Dan selanjutnya tetap tak lupa dilanjutkan
dengan sebuah lagu pujian yang dibawakan
bersama-sama oleh para orang tua maupun anak-anak berdarah Manado maupun Sangir.
Suku Papua, merupakan penampil berikutnya, menampilkan
tarian Yospan yang dibawakan oleh beberapa anak dan pemuda. Yospan adalah sebuah
tari-tarian yang dimaksudkan sebagai tari pergaulan
atau atau tarian persahabatan antara muda-mudi di masyarakat Papua. Yospan merupakan kepanjangan dari Yosim Pancar, dengan gerakan yang sangat menarik.
Dan menutup Yospan, tetap ada puji-pujian dari Suku Papua,
menyanyikan lagu Ramana refo dengan diiringi pukulan tifa sebagai alat musik.
Suku Toraja tak mau pula ketinggalan. Meski sebenarnya
mereka mau menampilkan tarian Pa’Gellu’, namun sayang karena tarian Pa’gellu’
berarti harus menyewa baju dan gendang yang tentu sulit didapatkan dalam waktu
seminggu, maka mereka (seharusnya sih termasuk saya, tapi karena tak pernah
ikut latihan maka saya jadi tim penggembira dari belakang panggung saja)
menampilkan nyanyian Marendeng Marampa’. Dilanjutkan dengan tariam Ma’dero’.
Tarian ini memiliki maksud sebagai tarian persahabatan, dilakukan dengan gerakan berputar membentuk lingkaran. Meski menari di bawah hujan yang terus mengguyur,
masyarakat Toraja tetap menari dengan gembira diiringi dengan teriakan-teriakan
khas orang Toraja : “aihiiiiihiiiiiiii…..” Sebuah teriakan melengking yang
dimaksudkan sebagai penyemangat. Dan yang sebenarnya diteriakkan oleh Pak
Molle, seorang Bapak Ambon yang beristrikan Toraja. Mungkin saja dia mencoba
menyemangati istrinya yang tengah menari di bawah sana. Membuat saya tertawa
terbahak-bahak karena langsung teringat kampung halaman. Tarian ini dilakukan
dengan saling berpegangan tangan membentuk lingkaran, dan sebenarnya
dimaksudkan untuk mengundang siapa saja boleh ikut bergabung masuk ke dalam
lingkaran dan bergerak seturut dengan alunan musik.
Keseluruhan penampilan akhirnya di tutup dengan Suku
Ambon. Tarian Ketreji yang dibawakan
beberapa pasangan berpakaian adat Ambon. Tarian ini merupakan perpaduan antara budaya Maluku dan Eropa. Mungkin karena negeri kita yang terlalu lama di jajah oleh bangsa Belanda sehingga budayapun ikut terserap.
Tarian ini dimaikan secara berpasangan dengan berbagai gerakan dengan seorang pemandu. Kata suami, ini merupakan tarian penyambutan, namun pula merupakan gambaran pergaulan muda-mudi.
Setelah tari Ketreji, semua orang-orang Ambon berkumpul di
atas panggung dan menyanyikan lagu Gandong sebagai tanda bahwa kita semua satu
keluarga, diiringi dengan penyalaan obor.
Selesailah sudah penampilan setiap suku, dan sebenarnya agak
kurang lengkap karena dari suku Batak tak menampilkan keseniannya. Mungkin
karena jumlah mereka yang sedikit, karena beberapa anggota suku Batak yang
pernah ada di jemaat kami telah berpindah tempat. Ada yang kembali ke Medan,
dan ada pula yang rumahnya pindah.
Acara selanjutnya adalah pemotongan kue Ulang tahun, dan
dilanjutkan dengan ibadah yang di pimpin oleh Bpk. Pdt Simon Louis, STh. Untuk
acara ibadah, saya tak berani mengambil gambar, karena khawatir mengganggu
kekhusyukan ibadah. Jadi ingat kisah fotografer di Borobudur. :(
Setelah ibadah, dilanjutkan dengan acara lelang untuk
pembangunan rumah Pastori. Keriuhan acara terus berlangsung hingga akhirnya
tiba acara istirahat/ penutup. Makanan-makanan tradisonal telah tersedia di
atas meja. Ada papeda, kuah ikan gohu, soto ayam, nasi bambu, keladi, pa’piong
bulunangko, dan segala rupa makanan lainnya. Tentu saja saya tak bisa mencicipi
semuanya, selain pasti di kira rakus, mana bisa ngambil makanan sambil
menggendong seorang bocah 3 tahun yang sudah mengamuk minta pulang. Hehehe…
Saya sudah merasa kenyang melihat aneka makanan tersebut. Dan kemudian menyesal
karena tak sempat merekam gambar makanan-makanan tersebut.
Kamipun pulang duluan di tengah rintik hujan membawa
kegembiraan luar biasa dalam hati. Indahnya sebuah persekutuan meski berbeda
suku.
Oh ya, saya selipkan juga permintaan maaf untuk teman-teman
panitia. Maaf, tak bisa membantu membersihkan sisa-sisa acara. Saya yakin
kalian pasti kelelahan membersihkan ruangan Gereja yang begitu besar karena
akan di pakai beribadah keesokan harinya. Belum lagi membongkar panggung dan
merapikan kursi-kursi. Bukan tak niat membantu. Anakku rewel bukan main, mana
dia baru sembuh sakit dan bahkan belum sempat makan malam. Maaf ya….
Tuhan memberkati pelayanan kalian… :)
Selamat Ulang Tahun GKI Jemaat Imanuel Malawili Aimas.
Biarlah kita terus dipersatukan dalam kasih TUHAN.
Aamiin, smeoga doanya terkabul ya. Anak-anak memang suka gak bisa dprediksi ya kadnag ceria kemudian rewel
BalasHapusHehe iya Mbak Lid..
Hapusmeriah acaranya, ya :)
BalasHapus