Selasa, 30 Juli 2013

Selamat Ulang Tahun GKI Immanuel Malawili




Hari Sabtu kemarin tanggal 27 Juli 2013 merupakan perayaan Ulang Tahun yang ke-32 tahun Jemaat Immanuel Malawili, Gereja GKI tempat kami beribadah selama ini. Usia yang sudah cukup dewasa. Konon menurut cerita para tua-tua jemaat, para pendiri jemaat ini hanyalah ada 7 KK  yang beribadah dari rumah ke rumah, kemudian mendapat tempat di sebuah Sekolah Dasar untuk beribadah. Tak lama kemudian anggotanya semakin bertambah seiring dengan kedatangan para transmigran dari tanah Jawa dan juga para pendatang dari suku-suku lain. Hingga sekarang ini ada beragam suku dalam Gereja kami , dan oleh karena keragaman itu pula maka di acara perayaan Ulang Tahun yang kemarin diadakan, dimeriahkan dengan acara penampilan kesenian tradisional asal masing-masing suku.

Namun dengan persiapan yang begitu singkat, hanya sekitar satu minggu membuat para suku agak kesulitan menampilkan kesenian tradisional mereka yang terbaik. Tapi keterbatasan waktu itu tidak menyurutkan semangat untuk terus berlatih setiap hari.  Selain itu pula, masing-masing suku diharapkan menyajikan makanan tradisional asal suku mereka untuk di santap bersama-sama. Tak perlu yang mewah-mewah, cukup di buat sesederhana mungkin, yang penting kebersamaannya.

Beberapa waktu sebelum hari H, sudah diadakan berbagai lomba-lomba menarik dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun tersebut. Dan akhirnya tibalah acara puncak, di Sabtu kemarin. Tenda didirikan di luar untuk menampung jemaat yang hadir yang ternyata antusiasmenya cukup tinggi mengingat cuaca hujan yang kurang mendukung. Dengan MC andalan Mas Joko serta Song Leader Diandini, dimulailah kemeriahan acara di hari itu. Setelah Doa Pembukaan  oleh Bapak Karel Mustamu, dan dilanjutkan dengan laporan panitia oleh Ibu Tanser yang sekaligus merupakan ketua unsur PAR (Persekutuan Anak & Remaja) yang memang di daulat untuk menjadi Panitia kegiatan ini, maka pertunjukan seni budaya dari masing-masing suku mulai tampil.
Di mulai dengan Suku Jawa, menampilkan kesenian tari-tarian Gundul-gundul pacul dan dua buah tarian lain (saya lupa namanya). Juga permainan tradisional Cublak-cublak Suwong, sebuah jenis permainan yang sudah sangat jarang ditemui sekarang ini. Anak-anak sepertinya lebih memilih mainan dari gadget keren mereka dan sudah melupakan permainan tradisional ini. Dan yang unik, si penari-penari cilik itu tak hanya murni dari suku Jawa saja. Ada Tasya yang berdarah Ambon Manado, juga Jeni yang mamanya Ambon. Sungguh asyik memandangi bocah-bocah kecil itu menari dengan luwes, meski kadang terhenti jika musik ikut berhenti dan saling berdebat jenis gerakan selanjutnya.

Hujan tak kunjung reda sementara tempat duduk kami di bagian pinggir yang tentu saja dengan mudah terkena percikan hujan serta gempuran angin dingin. Saya yang awalnya duduk di tenda penonton akhirnya menyerah dan naik ke bagian belakang panggung.  Agak repot juga, karena saya ingin sekali mengambil gambar namun sayang karena hujan dan sementara itu saya juga sibuk menggendong si kecil membuat gerakan saya terbatas. Maklum, sudah mak – mak … Itulah sebabnya saya hanya mampu mengambil beberapa gambar dari samping maupun dari belakang. Sayang sebenarnya… :(
Setelah bocah-bocah Jawa menari, dilanjutkan dengan nyanyian Jawa oleh para orangtua mereka. Dan lagi, saya lupa judulnya apa, kalo nggak salah Monggo-monggo Gusti…
Penampilan selanjutnya adalah dari Suku Manado bercampur dengan Sangir. Yang penting dari Sulawesi Utara. Mereka menampilkan sebuah tarian, (dan maafkan daku, lagi-lagi lupa namanya sejenis Sajojo tapi dengan musik yang lain) dan dikatakan itu adalah tarian pergaulan. Dibawakan dengan ciamik oleh 4 gadis remaja, Liany, Arcita, Citra dan adiknya Sejatri, diiringi dengan lagu yang entah apa judulnya, tapi liriknya memang sangat mengundang untuk bergoyang, kurang lebih seperti ini : “nona manis putarlah ke kiri..ke kiri.. ke kiri.. ke kiri manise…” Dan selanjutnya tetap tak lupa dilanjutkan dengan sebuah  lagu pujian yang dibawakan bersama-sama oleh para orang tua maupun anak-anak berdarah Manado maupun Sangir.


Suku Papua, merupakan penampil berikutnya, menampilkan tarian Yospan yang dibawakan oleh beberapa anak dan pemuda. Yospan adalah sebuah tari-tarian yang dimaksudkan sebagai tari pergaulan atau atau tarian persahabatan antara muda-mudi di masyarakat Papua. Yospan merupakan kepanjangan dari Yosim Pancar, dengan gerakan yang sangat menarik.
Dan menutup Yospan, tetap ada puji-pujian dari Suku Papua, menyanyikan lagu Ramana refo dengan diiringi pukulan tifa sebagai alat musik.

Suku Toraja tak mau pula ketinggalan. Meski sebenarnya mereka mau menampilkan tarian Pa’Gellu’, namun sayang karena tarian Pa’gellu’ berarti harus menyewa baju dan gendang yang tentu sulit didapatkan dalam waktu seminggu, maka mereka (seharusnya sih termasuk saya, tapi karena tak pernah ikut latihan maka saya jadi tim penggembira dari belakang panggung saja) menampilkan nyanyian Marendeng Marampa’. Dilanjutkan dengan tariam Ma’dero’. Tarian ini memiliki maksud sebagai tarian persahabatan, dilakukan dengan gerakan berputar membentuk lingkaran. Meski menari di bawah hujan yang terus mengguyur, masyarakat Toraja tetap menari dengan gembira diiringi dengan teriakan-teriakan khas orang Toraja : “aihiiiiihiiiiiiii…..” Sebuah teriakan melengking yang dimaksudkan sebagai penyemangat. Dan yang sebenarnya diteriakkan oleh Pak Molle, seorang Bapak Ambon yang beristrikan Toraja. Mungkin saja dia mencoba menyemangati istrinya yang tengah menari di bawah sana. Membuat saya tertawa terbahak-bahak karena langsung teringat kampung halaman. Tarian ini dilakukan dengan saling berpegangan tangan membentuk lingkaran, dan sebenarnya dimaksudkan untuk mengundang siapa saja boleh ikut bergabung masuk ke dalam lingkaran dan bergerak seturut dengan alunan musik.


Keseluruhan penampilan akhirnya di tutup dengan Suku Ambon.  Tarian Ketreji yang dibawakan beberapa pasangan berpakaian adat Ambon. Tarian ini merupakan perpaduan antara budaya Maluku dan Eropa. Mungkin karena negeri kita yang terlalu lama di jajah oleh bangsa Belanda sehingga budayapun ikut terserap.
Tarian ini dimaikan secara berpasangan dengan berbagai gerakan dengan seorang pemandu. Kata suami, ini merupakan tarian penyambutan, namun pula merupakan gambaran pergaulan muda-mudi.


Setelah tari Ketreji, semua orang-orang Ambon berkumpul di atas panggung dan menyanyikan lagu Gandong sebagai tanda bahwa kita semua satu keluarga, diiringi dengan penyalaan obor.
Selesailah sudah penampilan setiap suku, dan sebenarnya agak kurang lengkap karena dari suku Batak tak menampilkan keseniannya. Mungkin karena jumlah mereka yang sedikit, karena beberapa anggota suku Batak yang pernah ada di jemaat kami telah berpindah tempat. Ada yang kembali ke Medan, dan ada pula yang rumahnya pindah.
Acara selanjutnya adalah pemotongan kue Ulang tahun, dan dilanjutkan dengan ibadah yang di pimpin oleh Bpk. Pdt Simon Louis, STh. Untuk acara ibadah, saya tak berani mengambil gambar, karena khawatir mengganggu kekhusyukan ibadah. Jadi ingat kisah fotografer di Borobudur. :(
Setelah ibadah, dilanjutkan dengan acara lelang untuk pembangunan rumah Pastori. Keriuhan acara terus berlangsung hingga akhirnya tiba acara istirahat/ penutup. Makanan-makanan tradisonal telah tersedia di atas meja. Ada papeda, kuah ikan gohu, soto ayam, nasi bambu, keladi, pa’piong bulunangko, dan segala rupa makanan lainnya. Tentu saja saya tak bisa mencicipi semuanya, selain pasti di kira rakus, mana bisa ngambil makanan sambil menggendong seorang bocah 3 tahun yang sudah mengamuk minta pulang. Hehehe… Saya sudah merasa kenyang melihat aneka makanan tersebut. Dan kemudian menyesal karena tak sempat merekam gambar makanan-makanan tersebut.
Kamipun pulang duluan di tengah rintik hujan membawa kegembiraan luar biasa dalam hati. Indahnya sebuah persekutuan meski berbeda suku.
Oh ya, saya selipkan juga permintaan maaf untuk teman-teman panitia. Maaf, tak bisa membantu membersihkan sisa-sisa acara. Saya yakin kalian pasti kelelahan membersihkan ruangan Gereja yang begitu besar karena akan di pakai beribadah keesokan harinya. Belum lagi membongkar panggung dan merapikan kursi-kursi. Bukan tak niat membantu. Anakku rewel bukan main, mana dia baru sembuh sakit dan bahkan belum sempat makan malam. Maaf ya….
Tuhan memberkati pelayanan kalian… :)
Selamat Ulang Tahun GKI Jemaat Imanuel Malawili Aimas. Biarlah kita terus dipersatukan dalam kasih TUHAN.



3 komentar:

  1. Aamiin, smeoga doanya terkabul ya. Anak-anak memang suka gak bisa dprediksi ya kadnag ceria kemudian rewel

    BalasHapus