Jumat, 27 September 2013

Raja Ampat... *again

Namanya juga tinggal di Sorong, yang berjarak hanya sekitar 2 jam dari Raja Ampat, tentunya tak lengkap rasanya jika saya belum mencicipi yang namanya Raja Ampat. Masa orang dari luar + bule-bule sudah, saya sendiri belum?

Meski belum diberi kesempatan untuk pergi ke sana yang benar-benar dalam rangka liburan, namun pergi dalam rangka tugas dari kantor pun tak menyurutkan keinginan saya untuk terus mengekspos keindahan alam Raja ampat.

Yap, benar. Lagi-lagi dari Dinas Provinsi mengadakan kegiatan di Raja Ampat. Dan saya sebagai pengolah data Kefarmasian di Kabupaten Sorong ikut serta untuk menyampaikan data-data dari daerah kami. Jadilah, bersama teman-teman dari kabupaten lain kami berkumpul di sebuah hotel tempat teman-teman dari Kabupaten lain menginap untuk selanjutnya bersama-sama menuju ke Raja Ampat.

Perjalanan kali ini menggunakan kapal fery Bahari Ekspress 88B, kapal yang belum lama beroperasi dengan kecepatan 30 knot sehingga hanya menempuh waktu 1 jam 10 menit hingga tiba di Waisai (ibukota Raja ampat). Fyi, harga tiket kapal adalah 220rb untuk VIP (dapat ruang AC + roti + teh kotak) dan 130rb untuk kelas ekonomi.



di atas kapal

Tiba di Waisai, seorang teman di sana telah siap menjemput dengan 2 buah speed bermesin 40 pk, masing-masing dengan 2 buah mesin. Di sana pula kami bertemu dengan teman-teman dari Balai POM Manokwari yang rupanya hari itu juga melaksanakan kegiatan di Waisai dan ingin ikut bersama kami ke tempat yang bernama Manswar. Dengan speed tersebut kami bergerak ke Manswar sekitar 1 jam perjalanan dari Waisai. Oh ya, sewa speed ini sekitar 1,5 jt untuk masing-masing speed (antar jemput ke Manswar).

bersiap ke Manswar


Di Manswar, kebetulan teman yang di Waisai tadi memiliki kakak yang mengelola home stay untuk tempat kami menginap. Ada 4 rumah kecil untuk VIP, dan 2 buah rumah untuk kelas standar. Saat saya tanyakan harganya, kamar VIP tersebut seharga 800rb/ malam, dan yang standar 500rb/kamar (satu rumah kecil ada 4 kamar dan ada yang 2 kamar, tapi satu kamar bisa di huni 2 orang). Dari homestay ini kita bisa melihat homestay sebelah yang dikelola oleh orang asing yang tidak menerima bayaran rupiah, tapi dengan euro.

deretan homestay VIP



kelas standar


Untuk penerangan, mereka masih menggunakan mesin genset, yang dinyalakan dari sore hingga pagi hari. Nah, karena siang hari gak nyala, maka kami melakukan kegiatan kami di malam hari. Segala acara yang menyangkut kegiatan kantor diselesaikan malam hari karena listrik tidak akan berkompromi di siang hari. Tapi ini menjadi sebentuk keuntungan juga bagi kami. Karena pagi hari kami bisa menikmati perjalanan ke pulau-pulau yang lain, menyaksikan keindahan alam Raja Ampat ini. Sayangnya kami tak bisa pergi ke Wayag (tempat indah yang berupa gugusan pulau-pulau kecil yang sering dipertontonkan di tivi itu). Menurut informasi, tempat tersebut sementara di tutup oleh masyarakat setempat. Entah karena alasan apa.




Jadilah kami hanya ke Sawinggrai, memberi makan ikan. Sebenarnya kami ingin pula menyaksikan burung cendrawasih, namun sayangnya kami terlambat sehingga tak bisa mengintip si burung yang cantik itu. Burung itu hanya mempertontonkan dirinya pagi-pagi benar, atau di sore hari menjelang malam. Dari sana kami menyempatkan ke Pasir timbul, yang saat kami pergi belum benar-benar timbul karena air masih pasang. Pasir timbul adalah sebuah hamparan pasir putih di tengah lautan yang sangat panjang, di mana kita dengan mudah melihat ikan berwarna-warni di karang-karang dangkal sekelilingnya. Saya pernah mencobanya setahun yang lalu, ada di postingan ini. 

Belum puas berenang, teman-teman yang lain sudah bosan, entah mungkin karena kepanasan sehingga kami terpaksa balik ke Manswar. Sebenarnya ada rencana untuk ke Pulau Pyanemo, sebuah pulau kecil yang hampir mirip dengan Wayag, namun sekali lagi sayang, teman-teman yang perempuan (notabene ibu-ibu, tak ada yang bernyali ke sana). Hanya saya sendiri dan teman-teman pria yang ingin ikut, tapi karena setelah di hitung-hitung lagi cuma ada 4 orang yang berminat, akhirnya kami tak jadi ke sana. Oh ya, biaya ke sana dari Manswar jika menggunakan speed adalah sekitar 4 juta. Jika ingin ke Wayag biayanya bisa membengkak sekitar 8 juta. Kenapa begitu mahal? Itu karena jaraknya yang begitu jauh, dan tentu saja memerlukan BBM cukup banyak. Tau sendiri kan harga BBM di Papua.

Akhirnya di sore itu kami habiskan hanya dengan duduk-duduk di tepi pantai sambil menanti matahari terbenam yang tentu saja luar biasa cantiknya. Oh ya, sebelumnya saya sempat berjalan-jalan menyusuri pantai hingga tiba di sebuah batu karang. Beberapa teman pria mencoba snorkling, namun karena tak ada yang bersertifikat diving, tak seorangpun yang mencoba diving. Kalau ingin diving, biayanya sekitar 400ribu setiap kali turun. Teman saya bilang homestay biasanya untung dari diving, karena bule-bule begitu sering minta diving, dan sehari bisa 3 kali turun laut. Sedangkan mereka biasanya menginap hingga seminggu. 

Keindahan alam bawah laut Raja Ampat memang tiada taranya. Penduduk lokal pun berusaha untuk terus menjaga keleastarian alam tersebut. Di pantai homestay tempat kami menginap tak boleh menangkap ikan. Selain itu, jika snorkling harus benar-benar hati-hati, tak boleh menginjak terumbu karang yang masih sedang bertumbuh. Kata teman itu, pernah ada seorang bule yang suka menangkapi ikan di suruh keluar dari homestay karena sudah di tegur 3 kali tapi tak mempan. Memang, kalau bukan kita yang menjaganya, siapa lagi. Tentu kita tak ingin anak cucu kita kelak tak meniikmati keindahan tersebut seperti kita menyaksikannya.

Keesokan harinya, kamipun bersiap-siap untuk pulang. Pukul 9 pagi kami kembali ke Waisai, dan mampir di pulau Saonek. Di sana teman-teman mencari oleh-oleh ikan asin yang terkenal berasal dari Saonek, sayang belum terlalu kering, tapi tetap juga di beli. Harganya 75rb/ kg. Ikan asin dari daging ikan tenggiri yang tebal-tebal ini tentu bebas adari formalin karena asli bikinan masyarakat sana. Ada pula yang mengolah menjadi kerupuk, namun saat kami menyambanginya, lagi-lagi kerupuk sudah habis, dan yang tersisa masih basah sementara di jemur. Selain itu, ada pula yang mengolah menjadi sistik ikan, sejenis penganan sebenarnya namanya berasal dari cheesestick, namun karena dilafalkan sistik, akhirnya diberi nama sistik. Puas mengelilingi Saonek, kamipun pulang ke Waisai. Namun karena kapal berangkat pukul 2 jadi masih ada waktu untuk berjalan-jalan keliling kota Waisai. Jadilah, kami melihat-lihat pantai WTC, gedung pari, bahkan ke Waiwo. Karena saya sudah tiga kali ke sini, maka sayalah yang menjadi penunjuk jalan bagi teman-teman lain.

Ah, Raja Ampat memang selalu menebarkan pesonanya untuk membuat kita kembali. Dan saya berjanji, suatu saat harus kembali ke sana bersama keluarga untuk benar-benar berlibur. Karena kata seorang teman, belum ke Raja Ampat kalau belum ke Wayag. Oh ya, perjalanan saya di atas gratis alis dibayarin semua sama orang Provinsi. Bahkan saya mendapat pula penggantian untuk transportasi ke Kota Sorong (saya wilayahnya di Kabupaten) serta uang saku. Kerjaan beres, jalan-jalan gratis. Asyik kan... Hehehe...




















4 komentar:

  1. Manteb bgt mak.. Pengen deh bisa ke sana.. Kyanya msh asri bgt yahh :)

    BalasHapus
  2. seneng banget ya deket ke rajaampat

    BalasHapus
  3. Judul yg bikin iri "again". Lah aku sekali aja belum. Keren banget ya maaak... Ajakin aku dong :)

    BalasHapus
  4. Ngiri mak :D Hiks Raja Ampat, Teluk Kiluan di Lampung makin ramai aja aku belum dateng (padahal kampung halaman). Ni lagi di numpang hidup Manado jangan sampai ga mampir ke Bunaken :D

    BalasHapus